Pesan Dari Sungai Utik untuk Pemimpin baru

Tuai Rumah atau Ketua Adat Dayak Iban Sungai Utik, Bandi atau lebih dikenal dengan sebutan Apay Janggut, usai mencoblos pada Pemilu 2024. ANTARA/Helti Marini Sipayung--

“Siapa pun presiden terpilih nanti harus peduli lingkungan karena kita tidak bisa hidup tanpa air bersih. Udara yang sehat dihasilkan dari hutan yang baik,” kata Apay Janggut usai mencoblos.

Ia berpesan kepada pemimpin negara dan anggota legislatif terpilih agar menerbitkan peraturan dan perundang-undangan yang memihak lingkungan.

Memelihara lingkungan, menurut dia, sama artinya memastikan kehidupan yang baik bagi anak cucu.

Konsistensi masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik menjaga hutan adat, membuat komunitas ini meraih penghargaan nasional dan internasional.

Penghargaan terakhir yang diterima Apay Janggut sebagai tokoh pelestari hutan Sungai Utik adalah Gulbenkian Prize for Humanity dari Yayasan Calouste Portugal pada Juli 2023.

Pada 2020 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan Hutan Adat Menua Sungai Utik masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik Ketemenggungan Jalai Lintang seluas 9.480 hektare (ha).

BACA JUGA:Langkah hijau SMI pacu pemanfaatan energi Matahari

BACA JUGA:Mengintip Peradaban Buddha Abad ke-7 dari KCBN Muaro Jambi

Masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik  mengatur hutan mereka menurut hukum adat. Dari bentang hutan adat itu, seluas 6.000 ha sebagai hutan lindung dan seluas 3.480 ha untuk lahan bercocok tanam dengan sistem rotasi tradisional.

Pembagian kawasan hutan menurut hukum adat Dayak Iban terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu kampung taroh, yakni kawasan hutan yang tidak boleh diladangi, tidak boleh diambil kayunya. Lokasinya terletak jauh ke hulu di sebelah utara rumah betang.

Kedua adalah kampung galan, yaitu kawasan hutan produksi terbatas di mana masyarakat dapat mengambil tanaman obat-obatan, kayu bakar, kayu pembuat sampan dengan pengawasan adat yang ketat lengkap dengan sanksinya. Hak pemanfaatan hanya bagi masyarakat kampung setempat.

Ketiga yaitu kampung embor kerja, yaitu kawasan produksi berkelanjutan yang dikelola dengan prinsip keadilan dan kelestarian menurut (hukum) adat setempat.

Di kawasan ini terdapat pula tanah mali dan tanah bertuah yang tidak dijadikan kawasan produksi sehingga masyarakat kampung menghindari penebangan kayu pada kawasan kawasan tersebut. Tanah mali dan bertuah dalam kawasan ini hanya dijadikan sumber bibit kayu dan tumbuhan lainnya. Pohon di bawah diameter 30 cm harus dibiarkan dan tidak diganggu.

Sistem tata kelola ini menghasilkan makanan, obat-obatan, bahan baku untuk menenun, menganyam, hingga air bersih untuk keperluan warga secara berkelanjutan.(*)

*) Oleh: Helti Marini S

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan