Nusron Wahid Curigai Keterlibatan Oknum ATR/BPN atas Penerbitan SHM Pesisir Tangerang dan Bekasi
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid-Azmi Samsul Maarif-Antara
BELITONGEKSPRES.COM - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyoroti dugaan penyimpangan dalam penerbitan sertifikat tanah di wilayah pesisir utara Bekasi dan Tangerang. Ia mencurigai adanya keterlibatan oknum internal ATR/BPN yang memanipulasi data pertanahan secara tidak sah.
"Di Bekasi, terdapat dua kasus yang menjadi perhatian. Salah satunya terjadi di Desa Segara Jaya, Kecamatan Taruma Jaya, yang merupakan ulah oknum ATR/BPN," ungkap Nusron dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 30 Januari.
Nusron mengungkapkan bahwa pada 2021, sebanyak 89 Sertifikat Hak Milik (SHM) diterbitkan kepada 67 orang dengan luas total 11,263 hektare di area daratan. Namun, pada Juli 2022, terjadi perubahan signifikan dalam data pertanahan tanpa prosedur resmi, yang menyebabkan jumlah penerima sertifikat menyusut menjadi 11 orang, sementara luas lahan melonjak menjadi 72,571 hektare, yang kini berstatus perairan laut.
"Sertifikat yang awalnya berada di daratan tiba-tiba berpindah ke laut. Kami akui ini merupakan perbuatan oknum internal ATR/BPN setempat, dan kasus ini sedang dalam proses investigasi lebih lanjut," ujar Nusron.
BACA JUGA:Pemerintah Resmi Ganti PPDB dengan SPMB, Ini Perbedaannya
BACA JUGA:Perkuat Ketahanan Pangan, Bulog Siapkan Rp16 Triliun untuk Serap 3 Juta Ton Beras Petani
Kasus serupa juga ditemukan di Desa Urip Jaya, Kecamatan Babelan, Bekasi. Nusron menjelaskan bahwa terdapat penerbitan Hak Guna Bangunan (SHGB) di wilayah perairan laut seluas 509,795 hektare.
Menurut data ATR/BPN, sertifikat tersebut dimiliki oleh dua perusahaan, yakni PT CL dengan luas 90 hektare yang diterbitkan secara bertahap sejak 2012 hingga 2018, serta PT MAN dengan luas 419,6 hektare yang diterbitkan antara 2013 dan 2015.
"Setelah kami analisis, sebagian besar lahan tersebut berada di luar garis pantai. Persoalannya, kami tidak bisa serta-merta membatalkan sertifikat ini," jelas Nusron.
Ia menambahkan bahwa ATR/BPN tidak dapat langsung membatalkan sertifikat yang telah berusia lebih dari lima tahun karena adanya asas contrario actus, yang melarang pejabat untuk mencabut sertifikat yang sudah melewati batas waktu tersebut.
"Untuk sertifikat yang usianya di bawah lima tahun, seperti kasus Kohod di Tangerang, bisa langsung kami batalkan. Namun, kasus ini sudah lebih dari sepuluh tahun," tegasnya.
BACA JUGA:Pesawat Pengangkut Pekerja Minyak Jatuh di Sudan Selatan, 20 Tewas 1 Selamat
BACA JUGA:Presiden Prabowo Ajak Masyarakat Rayakan Tahun Baru Imlek dengan Persatuan
Nusron menyatakan bahwa ATR/BPN tengah mengajukan permohonan fatwa ke Mahkamah Agung (MA) guna menentukan langkah hukum yang tepat untuk membatalkan sertifikat tersebut melalui jalur pengadilan. Jika pembatalan tidak memungkinkan, salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah mengategorikan lahan tersebut sebagai tanah musnah.