Kasus Kekerasan di Beltim 2024 Meningkat, Kelompok Rentan Jadi Tantangan Besar
Ilustrasi tindak kekerasan--(Antara)
MANGGAR, BELITONGEKSPRES.COM - Sepanjang 2024, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Sosial Belitung Timur (Beltim) mencatat 47 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Meski hanya meningkat satu kasus dibandingkan tahun sebelumnya, data ini menggarisbawahi bahwa kekerasan terhadap kelompok rentan masih menjadi tantangan besar di Kabupaten Belitung Timur.
Kepala UPTD PPA Dinas Sosial Kabupaten Beltim, Bambang Indroyono, menegaskan perlunya pendekatan yang lebih proaktif untuk menekan angka kekerasan.
“Tingginya jumlah kasus ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak dan perempuan memerlukan kerja sama yang lebih intensif dari semua pihak, termasuk masyarakat,” ujar Bambang, Jumat 3 Januari 2025.
BACA JUGA:Kabupaten Beltim Berpotensi Cetak Banyak Atlet Berprestasi, Sukses Jaring 150 Siswa SMP
Dari total 47 kasus, 14 di antaranya melibatkan perempuan, dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi yang terbanyak, mencapai 5 kasus.
Kekerasan seksual dan psikis juga menjadi sorotan, masing-masing mencatat 2 kasus. Sementara itu, pelanggaran berbasis digital seperti kasus ITE mulai muncul, mencatat 1 laporan.
Untuk kasus anak-anak, dari total 33 laporan, kekerasan fisik, kekerasan seksual, pencurian, dan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) masing-masing menyumbang 6 kasus. Selain itu, ada 4 kasus pelanggaran ITE, 3 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan 2 kasus kekerasan psikis.
“Kekerasan yang melibatkan anak-anak semakin kompleks, mulai dari fisik hingga eksploitasi berbasis digital. Hal ini membutuhkan perhatian serius, terutama dalam konteks perlindungan hukum dan pemulihan psikologis korban,” jelas Bambang.
BACA JUGA:1.301 Tenaga Honorer di Beltim Dinyatakan Lulus Seleksi PPPK 2024
Untuk mengatasi hal ini, UPTD PPA Dinas Sosial Beltim terus memperkuat layanan pendampingan bagi korban, mulai dari konseling psikologis, pendampingan hukum, hingga rehabilitasi.
Koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum dan lembaga non-pemerintah, juga ditingkatkan untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan yang memadai. Namun, Bambang menekankan bahwa peran masyarakat sangat penting dalam mencegah kekerasan.
“Edukasi dan kesadaran masyarakat adalah kunci utama. Jika ada indikasi kekerasan, segera laporkan. Dukungan lingkungan sekitar dapat membantu korban mendapatkan pertolongan lebih cepat,” katanya.
Kasus pelanggaran ITE yang muncul dalam laporan ini menjadi indikasi bahwa eksploitasi berbasis digital sedang berkembang. Untuk itu, Bambang mengungkapkan perlunya literasi digital, terutama bagi anak-anak dan keluarga, untuk mencegah dampak negatif penggunaan teknologi.