Konsumsi Tidak Berkurang, Konsumen Bergeser ke Rokok Ilegal, Bukti Kenaikan Cukai Belum Efektif
Ilustrasi cukai rokok-Istimewa-
BELITONGEKSPRES.COM - Kebijakan fiskal terhadap industri hasil tembakau (IHT) kembali menjadi sorotan, khususnya terkait efektivitas kenaikan tarif cukai rokok dalam mengendalikan konsumsi dan meningkatkan penerimaan negara.
Kajian terbaru yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB UB) menunjukkan bahwa strategi ini menghadapi kendala signifikan akibat efek substitusi di kalangan konsumen.
Efek substitusi menjadi tantangan utama. Konsumen yang sensitif terhadap harga cenderung beralih ke rokok dari golongan cukai yang lebih rendah atau ke rokok ilegal. Hal ini menimbulkan paradoks, di mana konsumsi total rokok tetap stabil meskipun tarif cukai dinaikkan hingga 25 persen.
Menurut Joko Budi Santoso, peneliti senior PPKE FEB UB, fenomena ini berdampak pada penurunan produksi rokok legal, pengurangan jumlah pabrik, dan berkurangnya basis penerimaan negara.
BACA JUGA:Alokasi KUR 2025 Ditargetkan Rp300 Triliun, Diharapkan Jangkau 2 Juta Debitur Baru
BACA JUGA:PPN 12 Persen Lebih dari Sekadar Pajak, Sri Mulyani Jelaskan Keuntungannya
Hasil penelitian ini mematahkan asumsi bahwa kenaikan tarif cukai secara langsung efektif menurunkan konsumsi rokok. Temuan ini menjadi viral di media sosial, khususnya platform Twitter (X), dengan tagar #CukaiRokok yang menjadi trending nomor satu.
Dalam 24 jam terakhir, isu ini menghasilkan lebih dari 5 juta impresi, mencerminkan tingginya perhatian masyarakat terhadap topik tersebut.
Perlu kebijakan yang lebih holistik. Untuk mencapai keseimbangan antara pengendalian konsumsi, keberlanjutan IHT, dan penerimaan negara, diperlukan strategi yang lebih komprehensif. Beberapa langkah yang diusulkan oleh PPKE FEB UB meliputi:
- Penguatan pengawasan terhadap rokok ilegal. Peredaran rokok ilegal meningkat akibat kenaikan tarif cukai, yang merugikan negara dari sisi penerimaan.
- Strategi harga yang seimbang. Kebijakan yang memperkecil disparitas harga antar golongan rokok dapat mengurangi efek substitusi.
- Edukasi kesehatan yang berkelanjutan. Pendekatan ini diperlukan untuk menekan permintaan secara bertahap tanpa merugikan industri rokok kecil.
BACA JUGA:Sektor Pertanian dan Ketahanan Pangan Jadi Program Prioritas di Pemerintahan Prabowo pada 2025
BACA JUGA:Bapanas Pastikan Beras Premium Lokal Bebas PPN 12 Persen
Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci. Kajian ini menggarisbawahi pentingnya sinergi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri dalam menciptakan kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan.
Joko Budi Santoso berharap perhatian luas dari masyarakat dapat menjadi momentum untuk merumuskan solusi yang lebih baik, baik dari sisi fiskal maupun kesehatan masyarakat.
"Kebijakan cukai tidak hanya soal fiskal, tetapi juga keseimbangan antara ekonomi, kesehatan, dan keberlanjutan industri. Oleh karena itu, evaluasi dan integrasi lintas sektor sangat diperlukan untuk mencapai solusi yang lebih inklusif dan berdampak luas," tutup Joko Budi.