Konsep Buddhisme juga menolak paradigma teknokratis yang memandang dunia dalam hal subjek-objek untuk tujuan dominasi dan eksploitasi semata (Phan, 2021). Karena asal-usul yang saling bergantung dan tidak terpisah tersebut, manusia dan alam akan saling berinteraksi dan mengembangkan satu bentuk jaringan kehidupan. Oleh seorang biksu Buddhis Vietnam bernama Thich Nhat Hanh, konsep ini disebut sebagai “inter-being”. Konsep ini juga menekankan pentingnya hubungan erat dan keselarasan antara individu dan alam sebagai sebuah sistem holistik (Phan, 2021).
BACA JUGA:Hasrat Kuasa, Demokrasi, dan Realitas Ciptaan
Pada dasarnya, semua agama dan keyakinan akan mengajarkan hal yang sama. Baik Kristen, Buddha, Islam, Hindu, bahkan aliran kepercayaan tradisional dari seluruh penjuru dunia akan menempatkan pentingnya keseimbangan dan penghormatan terhadap alam.
Manusia tidak pernah boleh menjadi tamak dan mendominasi alam di sekelilingnya. Tampak jelas terdapat kelindan hubungan antara pertobatan ekologis dan prinsip etika lingkungan yang telah dibahas sebelumnya. Manusia harus kembali pada level tertinggi kesadarannya untuk bersikap rendah hati dan memperlakukan bumi dengan sebaik-baiknya. Etika lingkungan sebagai sebuah pijakan memberi panduan bagi manusia untuk bertanggung jawab terhadap keberlanjutan bumi sebagai satu-satunya rumah bagi manusia.
Kehadiran sastra hijau (green literature) menjadi penting sebagai cambuk dan pengingat bagi para pembaca yang ada di seluruh dunia. Manusia harus tetap digerakkan dan digugah hatinya lewat kehadiran kata-kata. Pemahaman mengenai kesadaran lingkungan juga harus diinisiasi sejak dini dan dapat dihadirkan dalam bentuk buku cerita bergambar atau puisi anak sederhana. Selain itu, karya sastra hijau yang mengangkat topik-topik lingkungan dapat menjadi sarana advokasi bagi pelestarian alam serta menjadi refleksi atas dampak yang ditimbulkan manusia terhadap lingkungan sekitarnya.
Mengutip argumen yang disampaikan Pahn (2021) bahwa no being can exist without the other: one person without all other person, humanity without ecology, and vice versa, ecology without humanity. Tidak ada makhluk yang dapat bertahan tanpa makhluk lainnya, tidak akan ada kemanusiaan tanpa ekologi, dan sebaliknya tidak akan ada ekologi tanpa kemanusiaan.(**)
*) Dwi Oktarina Pascasarjana Ilmu Susastra, FIB UI