Pamong Budaya Ahli Pertama pada Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek
DI masa pemilu ini, berbagai macam foto dan baliho kampanye para politikus menyerbu ruang publik. Semua muncul dalam volume dan kuantitas yang superlatif. Tidak hanya di sepanjang jalan protokol dan perkampungan, di kongres atau rapat politik, tapi juga saat peringatan hari besar nasional dan agama hingga area pengungsian korban bencana. Semua berusaha memunculkan kesan yang sama dengan menggunakan jargon persuasif dan mengedepankan citra.
Saat ini kita hidup di suatu era di mana kultur visual menjadi kebutuhan setiap orang. Keberadaannya dianggap paling mampu menjelaskan berbagai peristiwa tentang eksistensi seseorang, salah satunya lewat foto. Foto dapat digunakan untuk mengonstruksi atau mendeskripsikan identitas individu maupun kelompok sosial.
Seseorang dapat dilihat sebagai anggota sebuah kelompok sosial dari apa yang terlihat di foto. Kamera memosisikan setiap individu dalam kode relasi sosial. Sebab, secara anatomi sosial, individu merupakan anggota kelompok sosial tertentu. Individu dipandang sebagai sosok yang representatif (dari kelompok, profesi, kelas sosial) dan tokoh-tokoh yang ”tetap” di tengah serangkaian kode-kode sosial yang kompleks (Nurochim, 2006).
Narsis
Kita berada di zaman narsisisme yang mensyaratkan kecintaan pada diri sendiri. Sam Vaknin (2006) menyebut konsep narsisisme lebih mencintai bayangan diri sendiri. Meski normal dan sehat, yang terjadi pada seseorang yang narsis adalah ia mencintai citra diri yang ditangkap oleh orang lain. Orang yang jatuh cinta pada bayangan tidak mampu mencintai sesamanya, juga dirinya sendiri. Ia bersikap arogan, tapi di balik sikap itu, ia justru mengalami krisis percaya diri. Untuk terus eksis, seorang narsis tergantung pada narcissistic supply, yaitu pandangan orang-orang di sekitarnya yang menampilkan ilusi bahwa ia seseorang yang penting, unik, dan istimewa.
BACA JUGA:Menjaga Api Literasi dengan Kayu Bacaan
BACA JUGA:Partisipasi Masyarakat Jadikan Pesta Demokrasi Luber dan Jurdil
Dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (2006), pengidap narsis biasanya merasa dirinya sangat penting dan ingin sekali dikenal orang lain karena kelebihannya, sangat yakin dengan keistimewaan dan keunikan dirinya sendiri, serta selalu ingin dipuji dan diperhatikan. Karena yang dipikirkan hanya diri sendiri, mereka kurang sensitif terhadap orang lain.
Tampilan para politikus ini berpijak pada misi utama untuk menonjolkan citra diri seorang tokoh serta penjejalan sosoknya ke dalam memori masyarakat luas. Mereka itu politisi yang merasa bahwa kerap kali kualitas tampang seorang tokoh jauh lebih menentukan kemenangannya ketimbang kualitas faktor-faktor lainnya.
Melampaui Realitas
Pola komunikasi politik yang dibangun lewat baliho-baliho itu sangat jelas menggambarkan dunia politik yang masih belum beranjak dari mekanisme personal. Dalam konteks ini, citra pribadi seorang tokoh lebih dipentingkan ketimbang visi dan programnya. Keharusan ini menimbulkan ulah artifisial agar ada estetisasi dan pembentukan makna dalam citra dirinya. Padahal, karena serba berlebihan, citra yang terbentuk jauh melampaui realitas sebenarnya.
Seturut Goenawan Mohamad (2019), citra yang kemudian hadir dalam foto di baliho itu sebenarnya hanya memperpanjang umur sebuah ilusi. Dalam foto, kamera seakan merekam ”kenyataan” dan bukan ”realitas”. Kita menganggapnya sebagai potret diri. Padahal, kita, dengan memilih angle dan cahaya dan pilihan saat yang baik, sebenarnya hendak mengubah ”kenyataan”. Atau bahkan membuat kenyataan baru.
Ulah artifisial itu tampak dalam mimik muka yang tersenyum, pose dan gestur tubuh, pengenaan kostum dengan segala aksesorinya, hingga penataan latar belakangnya. Sekian faktor itu digarap dengan antusias meski menelan dana besar. Hasrat untuk bisa memperoleh gambar menarik dan pantas dipasang di tepi jalan atau tempat umum lainnya.
Lebih lanjut dikatakan, berfoto di sini bukan sekadar mereproduksi kenyataan, tapi juga membikin metamorfosis karena yang kita kehendaki bukan diri kita, yang kita kehendaki ”representasi” atau ”wakil” diri. Kita tak lagi sekadar ”ada”, tapi ”punya”, dan kemudian ”tampil”. Tampil dengan wajah yang diatur, wajah yang diformat, karena seperti lazimnya, identitas dikemas dari kekurangan. Foto diri menjadi pertaruhan martabat dan kualitas diri yang sarat dengan pamrih politisasi dan hasrat profan.