Memaknai Kartini, Memaknai Kesetaraan Gender

Selasa 23 Apr 2024 - 22:09 WIB
Oleh: Dr. Mia Amiati, SH, MH, CMA

Berikut adalah isu-isu utama kesenjangan gender di berbagai sektor yang masih perlu diatasi, yakni pernikahan di usia anak. Hingga saat ini ratusan ribu anak-anak di bawah usia 18 tahun telah melangsungkan pernikahan dengan berbagai alasan, salah satunya karena persoalan ekonomi keluarga.

Budaya pernikahan di Indonesia menganggap pria sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah keluarga, sedangkan tugas-tugas rumah tangga, termasuk membesarkan anak, umumnya dibebankan pada perempuan.

BACA JUGA:Potensi Eskalasi Konflik Iran-Israel dan Harga Minyak yang Mencekik

Di dunia kerja juga masih kita temua kesenjangan gender. Hal iu ditandai dengan adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat diskriminatif yang membuat perempuan terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor perekonomian, umumnya pada pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih rendah daripada laki-laki.

Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan.

Menyikapi asumsi tersebut di atas, sangat layak diketengahkan laporan riset McKinsey pada tahuan 2015 yang menyimpulkan bahwa perusahaan yang mendukung kesetaraan gender memiliki kinerja 15 persen lebih tinggi.

Berdasarkan survei kepemimpinan di Amerika, Pew Research Center 2018, diperoleh beberapa fakta bahwa sebanyak 43 persen kaum perempuan mampu menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman, sedangkan laki-laki hanya 5 persen. Untuk pernghargaan terhadap orang dari berbagai latar belakang, kaum perempuan berada pada angka 35 persen, sedangkan laki-laki hanya 3 persen.

Dalam aspek mempertimbangkan dampak sosial dalam keputusan bisnis, perempuan menunjukkan angka 33 persen, sedangkan laki-laki hanya 8 persen, dalam hal memberikan bimbingan kepada karyawan muda, perempuan juga lebih unggul (33 persen) dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 9 persen.

BACA JUGA:Menebar Cita Rasa Robusta Kopi Lamaole Pulau Solor

Dari hasil survei itu terlihat dengan jelas bahwa keberadaan perempuan di perusahaan lebih banyak memberikan sumbangan positif dan menguntungkan.

Terkait rasa aman perempuan, Indonesia telah memiliki sejumlah undang-undang untuk melindungi perempuan dari kekerasan fisik. Hanya saja, beberapa bukti menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih terjadi.

Menurut survey Demografi dan Kesehatan 2003 dari Badan Pusat Statistik Indonesia, hampir 25 persen perempuan yang pernah menikah merasakan suami seolah-olah dibenarkan melakukan kekerasan fisik dengan memukul istrinya, dengan tuduhan istri melakukan kesalahan.

Selain itu, perdagangan perempuan dan prostitusi juga merupakan ancaman serius bagi perempuan Indonesia, terutama mereka yang miskin dan kurang berpendidikan. Kementerian Kesehatan pada 2004 menemukan bahwa 90 persen perempuan mengaku mengalami beberapa bentuk pelecehan seksual di tempat kerja.

Untuk hak kepemilikan, hukum perdata di Indonesia menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Perempuan di Indonesia memiliki hak hukum untuk akses ke properti, tanah, dan memiliki akses ke pinjaman bank serta kredit.

Meskipun demikian, masih terdapat diskriminasi di beberapa bagian, seperti suami berhak untuk memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) pribadi, sedangkan istri harus dimasukkan nomor pajak mereka dalam catatan suami.

BACA JUGA:Lebaran jadi Tuas Pendongkrak Sektor Parekraf

Kategori :