Menuju 100 Tahun Modernisasi Kelapa di Indonesia

Kamis 06 Mar 2025 - 22:56 WIB
Oleh: Kuntoro Boga Andri

JAKARTA - Jauh sebelum lagu “Rayuan Pulau Kelapa” digubah Ismail Marzuki pada 1944, pohon kelapa (Cocos nucifera) telah mengakar dalam irama kehidupan dan budaya Nusantara.

Tak sekadar masyarakat pesisir, penduduk pelosok Nusantara menggunakan kelapa sebagai minyak, minuman dan bahan kuliner hidangan tradisional. Kayu kelapa digunakan sebagai konstruksi rumah, daunnya sebagai atap.

Banyak masyarakat adat juga menggunakan janur (daun kelapa muda) untuk kegiatan budaya dan upacara keagamaan. Dalam naskah kuno Nagarakretagama, kelapa disebut sebagai “kalpadruma”, atau pohon kehidupan yang juga melambangkan kemakmuran.

Hari ini, kelapa bukan hanya menjadi simbol tetapi penopang ekonomi Indonesia. Data BPS pada 2023 menyebutkan, dari 3,32 juta hektare kebun kelapa kita, sekitar 98% dikelola sebagai kebun rakyat, yang menghidupi lebih dari dua juta keluarga tani.

Negara ini produsen kelapa terbesar ke-2 di dunia, dengan produksi mencapai 2,83 juta metrik ton (MT) pada 2023. Pada tahun tersebut, ekspor kelapa Indonesia tercatat sebesar 1,55 miliar dolar AS (Rp23 triliun), dengan pangsa sebesar 38,3 persen dari total ekspor dunia.

Namun, jalan pengembangan komoditas kelapa membawa kesejahteraan masyarakat masih panjang dan banyak persoalan yang harus diselesaikan. Produktivitas rata-rata perkebunan kelapa kita hanya 1,1 ton kopra/hektare, jauh di bawah potensi genetik kelapa unggul yang dapat mencapai 3,5 ton.

BACA JUGA:Setelah BRICS, Indonesia Kejar Target Gabung ke OECD​​​​

Nilai tambah dan efek manfaat produk kelapa belum banyak dirasakan masyarakat luas. Industri kelapa belum memaksimalkan potensi secara optimal, dan hilirisasi belum menjadi peta jalan pengembangan komoditas ini. Kondisi tersebut ditambah ancaman perubahan iklim dan tekanan pasar global  menuntut kita menengok kembali dan mencermati warisan 100 tahun inovasi dan pengembangan kelapa tanah air, yang akan diperingati pada 2027.

Sejarah modernisasi kelapa

Tonggak modernisasi kelapa Indonesia ditandai penanaman benih kelapa pada 1927 oleh Dr. Thames, peneliti Belanda, di Desa Mapanget, Sulawesi Utara. Awalnya, ia membawa 500 koleksi bibit dari Kebun Raya Bogor untuk uji adaptasi berbagai ekosistem.

Kini, 30 pohon kelapa unggul peninggalannya masih kokoh di kebun Instalasi Pengujian Standar Instrumen Pertanian (IPSIP) Mapanget, saksi bisu berdirinya Klapper Proofstation (1930) lembaga penelitian kelapa pertama Indonesia.

Pada tahun 1967 lembaga tersebut berganti nama menjadi Lembaga Penelitian Tanaman Industri disingkat (LPTI), kemudian tahun 1979 menjadi Balai Penelitian Tanaman Industri atau Balitri, tahun 1984 menjadi Balai Penelitian Kelapa atau Balitka, selanjutnya tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain.

Pada 17 Januari 2023 bertransformasi menjadi Balai Pengujian Standar Instrumen Tanaman Palma atau yang populer disebut "BSIP Tanaman Palma" di bawah koordinasi Pusat Standarisasi Instrumen Perkebunan, Kementerian Pertanian.

Tempat ini, bukan sekadar konservasi dan pelestari sejarah kelapa, tetapi garda terdepan modernisasi dan inovasi kelapa Indonesia. Dari lembaga ini, tercatat 60 varietas kelapa nasional telah dilepas, 53 di antaranya dilepas saat BSIP Tanaman Palma masih menjadi lembaga penelitian yaitu Balit Palma.

Selanjutnya, ada 7 varietas lainnya dilepas dalam rentang waktu 2022 - 2024 saat pengamatan awal calon varietas masih dilakukan Balit Palma. Varietas yang dilepas adalah kelapa dalam, kelapa genjah, dan kelapa hibrida hasil kerja sama dengan pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten.

BACA JUGA:Ramadhan: Momentum Tebar Kebaikan, Tinggalkan Keburukan

Kategori :

Terkait