Pemotongan ini termasuk pengurangan besar-besaran dalam pos alat tulis kantor, sebuah langkah yang mungkin terlihat kecil namun berpotensi berdampak pada operasional sehari-hari di sekolah-sekolah.
Pos infrastruktur juga merupakan salah satu yang terdampak. Kementerian Pekerjaan Umum menghadapi pengurangan anggaran lebih dari 70 persen, yang berdampak pada pembatalan proyek infrastruktur seperti jalan tol dan bendungan.
Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo harus mencari cara untuk berhemat dan mengalihkan fokus ke empat bidang pembangunan infrastruktur bidang pekerjaan umum tahun 2025, seiring dengan adanya efisiensi anggaran kementerian yang mencapai Rp81,38 triliun dari anggaran sebelumnya yang sebesar Rp110,95 triliun.
Targetnya kemudian dibagi pada empat bidang, yaitu sumber daya air sebesar Rp10,70 triliun, jalan dan jembatan sebesar Rp12,48 triliun, cipta karya sebesar Rp3,78 triliun, dan prasarana strategi sebesar Rp1,16 triliun. Akibatnya memang sejumlah proyek infrastruktur terpaksa tidak menjadi prioritas tahun ini.
BACA JUGA:HPN 2025: Media Instan vs Fakta Jadi Tantangan Pers di Era Digital
Di sinilah paradoks kebijakan muncul dengan jelas. Sementara kementerian seperti pendidikan dan PU harus menghadapi pemangkasan anggaran yang ketat, beberapa kementerian strategis lainnya tidak mengalami pengurangan yang sama, bahkan ada yang menerima tambahan alokasi dana.
Hal ini menunjukkan masih perlunya ada upaya penyeimbangan dalam penerapan efisiensi anggaran. Sebagai contoh, Kementerian Pertahanan tetap mendapatkan alokasi anggaran yang besar, sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memperkuat sektor pertahanan nasional.
Meskipun ini bisa dipahami dalam konteks geopolitik, hal tersebut juga menunjukkan prioritas pemerintah yang mungkin lebih condong pada sektor tertentu.
Jika melihat kasus dari negara-negara lain, seperti Jerman atau Selandia Baru, mereka berhasil menjalankan pemerintahan yang efektif dengan struktur kabinet yang ramping.
BACA JUGA:HPN Sebagai Momentum Refleksi UU Pers dan Relevansinya Kini
Jerman, sebagai ekonomi terbesar di Eropa, memiliki kabinet yang fokus pada kementerian strategis, meminimalkan birokrasi, dan menekankan efisiensi dalam setiap lini pemerintahan.
Sementara Selandia Baru, dengan pendekatan yang lebih terfokus pada kebijakan publik berbasis data dan transparansi, menunjukkan bahwa efisiensi birokrasi tidak hanya menghemat anggaran, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik.
Studi banding ini menunjukkan bahwa ukuran kabinet bukanlah penentu utama efektivitas pemerintahan, melainkan bagaimana setiap kementerian bekerja dengan efisien dan selaras dengan visi nasional.
Kembali ke konteks Indonesia, pembentukan kabinet yang besar bukan tanpa risiko. Biaya operasional meningkat, dari gaji pejabat hingga anggaran pendukung untuk kegiatan kementerian.
Dalam situasi di mana efisiensi anggaran menjadi prioritas, alokasi dana untuk mendanai struktur pemerintahan yang besar bisa menggerus potensi penghematan yang dihasilkan dari pemotongan anggaran di sektor lain.
BACA JUGA:Pelajaran dari Polemik Distribusi Gas Melon