Plaza Accord itu sendiri adalah perjanjian antara negara-negara ekonomi besar (AS, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris) di Hotel Plaza di Kota New York, AS, pada 22 September 1985, untuk mendepresiasi dolar AS dan memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan global. AS setuju untuk menurunkan nilai mata uangnya setelah defisit perdagangannya terus naik.
Hasil dari Plaza Accord adalah kelima negara itu setuju melakukan intervensi di pasar mata uang untuk mendepresiasi dolar. Bank sentral negara-negara tersebut sepakat untuk menjual dolar AS dan ditukar dengan mata uang lain, terutama yen, demi menekan nilai dolar.
Dengan membanjiri pasar dengan dolar AS, serta dikombinasikan dengan meningkatnya permintaan terhadap mata uang yen Jepang dan mark Jerman, membantu menurunkan nilai dolar. Yen Jepang pun terapresiasi dengan cepat terhadap dolar AS.
Setelah Plaza Accord pada 1985, yen Jepang terapresiasi hampir 50 persen terhadap dolar AS hanya dalam dua tahun. Yen Jepang menguat dari sekitar 240 yen/dolar pada 1985 menjadi sekitar 120 yen/dolar pada 1987.
BACA JUGA:100 Hari Kerja Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana Alam
Penguatan yen setelah Plaza Accord mencerminkan kekuatan ekonomi Jepang yang tengah mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, serta semakin menonjolnya daya saing negara Matahari Terbit itu dalam perdagangan global. Seiring apresiasi yen, produk Jepang menjadi lebih mahal di pasar luar negeri, tetapi Jepang juga lebih mampu bersaing secara global.
Gelembung spekulatif
Apresiasi yen yang cepat ini mempunyai dampak yang signifikan terhadap perekonomian Jepang, termasuk melemahkan daya saing ekspornya dan berkontribusi terhadap gelembung spekulatif terutama di sektor real estat dan saham di Jepang pada akhir tahun 1980-an.
Untuk melawan dampak negatif penguatan yen terhadap ekspor, bank sentral Jepang (BOJ) menurunkan suku bunga secara signifikan pada akhir tahun 1980-an. Idenya adalah untuk merangsang permintaan domestik dan mendukung perekonomian karena dengan menjadikan pinjaman lebih murah, diharapkan akan mendorong investasi.
Kebijakan suku bunga rendah ini berlangsung selama beberapa tahun, menyebabkan ledakan kredit dan peningkatan pesat harga pasar saham dan real estat. Investor dan banyak orang memanfaatkan kredit murah dengan mulai menggelontorkan dana ke real estat dan saham.
BACA JUGA:Tukang Gendang, Penjaga Tradisi 'Gawai Penganten' Belitong
Kombinasi investasi spekulatif dalam real estat dan saham menciptakan gelembung ekonomi, suatu periode di mana harga aset sangat tinggi, lebih didorong oleh spekulasi dan kemudahan mendapatkan uang dibandingkan nilai riil dari aset itu sendiri.
Pada tahun 1990, BOJ mulai menyadari bahaya gelembung spekulatif dan berusaha menenangkan perekonomian dengan menaikkan suku bunga. Langkah ini bertujuan mengurangi kelebihan likuiditas yang mendorong kenaikan harga aset.
Pengetatan kredit dan kenaikan suku bunga memicu jatuhnya pasar saham dan harga real estat. Pada awal 1990-an, Jepang memasuki periode stagnasi ekonomi, dan gelembung ekonomi tersebut pecah yang mengakibatkan rendahnya pertumbuhan dalam jangka waktu yang lama, jatuhnya harga aset, dan krisis perbankan.
Pecahnya gelembung ini menandai awal dari fenomena yang disebut "Dekade Hilang" Jepang (yang berlangsung hingga tahun 2000-an), di mana negara tersebut berjuang melawan deflasi, pertumbuhan yang stagnan, tingginya angka pengangguran, dan banyaknya kredit macet akibat runtuhnya gelembung tersebut.
BACA JUGA:Strategi Kendalikan Inflasi Dampak Kenaikan Harga Bahan Pokok
Tidak hanya yen Jepang, ada contoh historis lainnya dari sejumlah mata uang lain yang mengalami tingkat apresiasi yang secara cepat selama jangka waktu beberapa tahun, tetapi dampaknya malah menimbulkan efek yang negatif pada jangka panjang terhadap sejumlah indikator sosioperekonomian dari negara itu.