Pergantian kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia bukan menjadi hal yang baru. Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, kurikulum telah beberapa kali mengalami perubahan, seolah mencerminkan dinamika pemerintahan dan kebijakan yang terus bergulir.
BACA JUGA:Menguatkan Mitigasi dan Kesiapsiagaan Guna Antisipasi Bencana
Namun, setiap kali isu ini muncul, kegelisahan pun melanda kalangan pendidik, siswa, dan masyarakat luas. Bagi para guru, perubahan kurikulum tidak hanya sekadar penggantian dokumen kebijakan, tetapi juga melibatkan penyesuaian metode pengajaran, materi pembelajaran, hingga evaluasi hasil belajar. Sementara itu, bagi siswa, perubahan kurikulum sering kali mengganggu proses belajar-mengajar yang sudah berjalan, menciptakan kebingungan baru dalam memahami pola pembelajaran yang diterapkan.
Belum juga genap dua tahun Kurikulum Merdeka diterapkan di berbagai jenjang pendidikan, kini muncul wacana menggantinya dengan Kurikulum Deep Learning. Wacana ini, meskipun belum resmi diumumkan, telah memicu pertanyaan besar di kalangan pemerhati pendidikan: apakah perubahan ini benar-benar diperlukan? Apakah kurikulum baru yang digadang-gadang ini akan menyelesaikan permasalahan yang ada, atau justru menambah beban bagi sistem pendidikan yang selama ini sudah penuh tantangan?
Kurikulum Merdeka diperkenalkan dengan tujuan memberikan fleksibilitas bagi guru dan siswa. Melalui pendekatan berbasis proyek dan penguatan profil pelajar Pancasila, kurikulum ini berusaha menjawab tantangan zaman dengan menekankan keterampilan berpikir kritis dan kreativitas.
BACA JUGA:Menguatkan Mitigasi dan Kesiapsiagaan Guna Antisipasi Bencana
Namun, pada kenyataannya, implementasi Kurikulum Merdeka masih jauh dari sempurna. Banyak sekolah baru menerapkannya pada kelas tertentu, seperti kelas 10 dan 11, sementara yang lain bahkan belum siap sama sekali. Dalam situasi ini, wacana pergantian kurikulum terasa terlalu tergesa-gesa.
Di sisi lain, Kurikulum Deep Learning, yang digadang-gadang sebagai kurikulum berbasis teknologi dan analisis mendalam, menawarkan pendekatan baru yang tampaknya sesuai dengan kebutuhan era digital. Namun, jika diterapkan tanpa persiapan matang, kurikulum ini justru berpotensi menciptakan masalah baru.
Salah satu tantangan utamanya adalah kesiapan infrastruktur. Tidak semua sekolah di Indonesia, terutama di daerah terpencil, memiliki akses terhadap teknologi yang memadai. Komputer, internet, dan perangkat pendukung lainnya masih menjadi barang langka bagi sebagian besar sekolah di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Selain itu, pergantian kurikulum yang terlalu cepat sering kali menjadi beban besar bagi para pendidik. Guru adalah ujung tombak implementasi kurikulum, namun mereka membutuhkan waktu, pelatihan, dan pendampingan untuk memahami dan menerapkan sistem baru.
BACA JUGA:Replikasi Digital, Ancaman dan Penanggulanggannya
Kurikulum Merdeka saja belum sepenuhnya dipahami oleh banyak guru, dan kini mereka dihadapkan pada potensi perubahan lagi. Jika kondisi ini dibiarkan, proses belajar-mengajar hanya akan menjadi formalitas tanpa memberikan dampak signifikan pada peningkatan kualitas pendidikan.
Pergantian kurikulum yang kerap dilakukan di Indonesia juga menciptakan ketidakstabilan dalam sistem pendidikan. Setiap pergantian menteri sering kali diikuti dengan perubahan kebijakan kurikulum. Hal ini bukan hanya membingungkan, tetapi juga merugikan siswa, yang pada akhirnya menjadi pihak yang paling terdampak.
Kurikulum yang terus berubah-ubah menyebabkan ketidakpastian dalam proses pembelajaran, mengurangi konsistensi, dan membatasi kesempatan siswa untuk mengembangkan potensi mereka secara optimal.
Dalam konteks ini, pemerintah seharusnya berfokus pada evaluasi dan penyempurnaan Kurikulum Merdeka. Alih-alih mengganti sistem secara total, lebih baik memperbaiki kelemahan yang ada. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa kurikulum saat ini dapat diimplementasikan secara maksimal di seluruh sekolah, termasuk di daerah yang infrastrukturnya masih terbatas.