Di Persimpangan Dimensi Budaya (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)

Ares Faujian--

Pemahaman akan dimensi-dimensi ini dapat meningkatkan harmoni di lingkungan lintas budaya. Ihwal ini bukan tentang benar atau salah, tapi tentang memahami keunikan dan mengelola perbedaan dengan efektif. Hal ini untuk dijadikan fondasi sebelum berinteraksi dengan orang-orang baru, mewujudkan diversitas tanpa ketegangan hingga pertikaian, hingga penyelesaian masalah-masalah sosial.

Kombinasi 2 dimensi ini juga terlihat pada kehidupan migran yang harus beradaptasi antara budaya asal dan budaya negara tempat mereka tinggal. Misalnya, seorang imigran dari Indonesia yang tinggal di Belanda, yang mana ia akan menghadapi gegar budaya (culture shock) hingga benturan budaya (culture clash) karena perbedaan budaya yang tidak ditoleransi. Walaupun di satu sisi, ia terbiasa dengan kolektivisme dan hierarki di Indonesia, namun ia juga harus belajar untuk menghargai individualisme dan egalitarianisme di tempat tinggal barunya (Belanda).

Jika kemampuan mengelola dimensi budaya ini tidak diketahui, disadari, hingga tidak diimplementasikan. Maka akan banyak terjadi kesalahpahaman yang tidak perlu, termasuk pula terjadinya konflik yang berkepanjangan, bahkan perang. Sehingga, pendidikan lintas budaya dikira sangat perlu diajarkan di sekolah, diriset untuk mendapatkan data dan pengembangan, serta diedukasi kepada masyarakat melalui tulisan-tulisan di media massa.

BACA JUGA:Mengarusutamakan Kesetaraan Gender untuk Ekonomi Berkelanjutan

Penutup

Memahami dimensi nilai budaya bukan sekadar pemenuhan keingintahuan, namun adalah jalan menuju kebijaksanaan. Di persimpangan ini, kita bertemu dengan wajah-wajah dunia yang berbeda namun saling melengkapi.

Persimpangan dimensi-dimensi nilai budaya ini mengajarkan kita untuk merenung di antara beragam spektrum hidup yang tidak selalu kita mengerti sepenuhnya. Ia mengajak kita untuk merangkul kompleksitas manusiawi yang saling berkelindan, untuk melihat perbedaan bukan sebagai dinding pemisah, melainkan jembatan yang menghubungkan.

Bagai aliran sungai yang tenang, ia mengukir jejaknya melalui bebatuan yang beraneka, membawa harmoni yang tak terbantahkan dalam keragaman. Melalui pemahaman ini, kita dibawa menyelami diri sendiri dan orang lain, menelusuri lapis-lapis nilai yang diam-diam membentuk cara pandang kita terhadap dunia. Ihwal ini menjadikan kita lebih peka terhadap getaran-getaran kecil yang muncul di ruang-ruang perbedaan.

Kita melihat bahwa perbedaan bukanlah pemisah, melainkan penguat, bahwa keragaman bukanlah alasan untuk bertikai, melainkan sumber kekayaan batin yang menghidupkan dunia. Seperti persimpangan yang mempertemukan jalan-jalan, dimensi nilai budaya mempertemukan manusia dengan pemahaman baru, yakni sebuah pemahaman yang mengingatkan kita bahwa dalam hati setiap budaya, ada kisah tentang kemanusiaan yang sama.

*) Ares Faujian, America Field Service (AFS) Global Educator dan Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sosiologi Kabupaten Belitung Timur

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan