Investasi Baterai Kendaraan Listrik Dikritik Salah Strategi, Ini Tanggapan Kemenko Marves

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto (kiri) menghadiri Indonesia Future Policy Dialogue, di Jakarta, Rabu (9/10/2024). ANTARA/Uyu Septiyati Liman--

BELITONGEKSPRES.COM - Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Septian Hario Seto, menanggapi kritikan terkait strategi pemerintah dalam investasi baterai kendaraan listrik. 

Ia menekankan bahwa tidak ada pilihan yang salah antara baterai berbasis nikel dan litium, karena kedua jenis baterai ini memiliki potensi pengembangan yang seimbang.

Septian menjelaskan, “Kita tidak seharusnya terjebak dalam pandangan bahwa kita hanya bisa memilih satu jenis baterai. Keduanya, baik nikel maupun litium, memiliki potensi untuk berkembang.” 

Dalam penjelasannya, ia menambahkan bahwa baterai berbasis nikel, seperti Nickel Manganese Cobalt (NMC), saat ini lebih diminati di pasar Eropa dan Amerika, sementara Lithium Ferro Phosphate (LFP) lebih banyak digunakan di Asia.

BACA JUGA:OJK dan AFPI Bersinergi untuk Keamanan Data di Fintech Lending

BACA JUGA:Menteri Investasi: Pengusaha Pertambangan Bentuk Konsorsium, Siap Investasi di IKN

Indonesia, lanjutnya, kini memiliki hampir semua sumber daya dan fasilitas yang diperlukan untuk produksi baterai listrik. 

Saat ini, sebuah fasilitas pemurnian litium sedang dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah, yang bertujuan untuk memproduksi litium hidroksida. Selain itu, pabrik foil tembaga di Gresik, Jawa Timur, juga sedang dalam proses pembangunan. Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo meresmikan pabrik bahan anoda untuk baterai litium di Kendal, Jawa Tengah.

Septian mengungkapkan harapannya agar pabrik untuk aluminium foil, elektrolit, dan separator dapat segera menarik investasi. “Dengan semua kemajuan ini, kita semakin mendekati terciptanya ekosistem industri baterai listrik yang kompetitif,” ujarnya.

Dengan melihat perkembangan yang ada, Septian optimis bahwa Indonesia akan menjadi salah satu pemain utama dalam ekosistem baterai litium global, setelah China. 

BACA JUGA:Mendag Zulhas Tekankan Pentingnya Bantuan bagi Kelas Menengah dan Petani di Tengah Deflasi

BACA JUGA:Sektor Hulu Migas Tetap Menjadi Pilar Utama Ketahanan Energi Nasional di Era Prabowo-Gibran

Kapasitas produksi bahan anoda di Indonesia saat ini mencapai 80 ribu ton per tahun, dan diproyeksikan akan meningkat dua kali lipat pada awal 2025. Sebagai perbandingan, kapasitas produksi bahan anoda di Jepang hanya 10 ribu ton, dan Korea Selatan 40 ribu ton.

“Jadi, kita perlu terus memantau tren pasar dan memanfaatkan potensi yang ada. Jika ada yang menganggap kita telah salah langkah dalam investasi ini, saya tidak sependapat,” tutup Septian. (ant)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan