Aksi Buruh Tolak Tapera, Minta Pemerintah Cabut Aturan dalam Waktu Seminggu

Ribuan massa buruh dari berbagai elemen menggelar aksi menolak program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (6/6). (Royyan/ JawaPos.com)--

BELITONGEKSPRES.COM - Massa buruh dari berbagai elemen memadati Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, dalam aksi penolakan terhadap program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada Kamis 6 Juni. 

Mereka menyerukan kepada Presiden Joko Widodo untuk mencabut aturan Tapera dalam waktu satu minggu.

Program Tapera, baru saja ditandatangani oleh Presiden Jokowi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan juga Presiden Partai Buruh, menegaskan agar aturan Tapera dicabut dalam waktu singkat.

"Bila pemerintah tidak mengindahkan aspirasi para buruh terkait pembatalan PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera, aksi protes akan merambah ke seluruh penjuru Indonesia," ancamnya.

BACA JUGA:Diduga Pengintai di Kantor Jampidsus, Drone Liar yang Mengelilingi Korps Adhyaksa Ditembak Jatuh

BACA JUGA:Soal Kasus Ibu yang Buat Video Asusila dengan Anaknya, Dipastikan Tanpa Keterlibatan Suami

Iqbal menjelaskan alasan-alasan di balik penolakan buruh terhadap program Tapera. Salah satunya adalah bahwa program ini tidak sesuai dengan namanya karena peserta Tapera, termasuk buruh, TNI, Polri, dan ASN, tidak akan mampu memiliki rumah.

Rata-rata upah buruh di Indonesia sekitar Rp 3,5 juta per bulan, sehingga pemotongan iuran Tapera sebesar 3 persen, yakni sekitar Rp 105 ribu per bulan atau Rp 1,260 juta per tahun, terasa berat bagi mereka.

"Sebagai contoh, dalam sepuluh tahun hanya terkumpul Rp 12,6 juta. Dalam dua puluh tahun, hanya Rp 25,2 juta. Harga rumah tentu tidak sebanding dengan jumlah tersebut," ujarnya.

Ia juga mempertanyakan kemungkinan penyalahgunaan dana iuran yang akan dikelola oleh pemerintah, yaitu 2,5 persen dari upah buruh dan 0,5 persen dari pengusaha.

"Apakah ada jaminan bahwa dana ini tidak akan disalahgunakan? Asabri dan Taspen adalah contoh nyata bahwa dana yang dikelola oleh pemerintah bisa saja terkorupsi. 

Kami, sebagai masyarakat sipil dan buruh, tidak akan mentolerir penyalahgunaan dana ini," tandasnya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan