Psikiater Ingatkan Gen Z dan Gen Alpha Waspadai Self-Diagnosis Pakai AI
Psikiater Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) dr. Kristiana Siste (paling kiri) dan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono (kedua kiri) dalam Dialog Multistakeholder Towards a Smart Governance di J-Kementerian Kesehatan-ANTARA/HO
BELITONGEKSPRES.COM - Psikiater FKUI-RSCM, dr. Kristiana Siste, memperingatkan generasi Z dan Alpha agar berhati-hati terhadap praktik self-diagnosis menggunakan artificial intelligence (AI). Ia menilai AI tidak selalu mampu membaca gejala dengan tepat, sehingga hasil yang diperoleh berisiko menyesatkan.
Dalam Dialog Multistakeholder Towards a Smart Governance di Jakarta, Rabu, dr. Siste menjelaskan banyak remaja dan dewasa muda kini bergantung pada chatbot untuk mengetahui kepribadian maupun dugaan depresi. Beberapa pasien bahkan menggunakan AI sebagai tempat bercerita saat merasa kesepian, karena minimnya komunikasi dalam keluarga.
Dr. Siste menekankan AI sebaiknya hanya digunakan sebagai alat skrining awal, misalnya untuk mendeteksi kecanduan internet, game, atau judi online. Ia menyoroti fenomena pengguna yang membagikan hasil diagnosis AI di media sosial lalu melakukan self-treatment tanpa konsultasi dokter, yang berpotensi membahayakan kesehatan mental.
etergantungan berlebihan pada AI juga bisa membuat anak muda menarik diri dari lingkungan sosial karena merasa lebih dimengerti oleh chatbot. Menurut dr. Siste, pendampingan orang tua penting agar AI digunakan sebagai pendukung, bukan pengganti tenaga profesional.
BACA JUGA:Ribuan Startup Indonesia Fokus Kembangkan Solusi Berbasis AI
BACA JUGA:AI Disebut Jadi Kunci Keamanan Siber di Era Serangan Digital yang Kian Canggih
“AI bagus jika digunakan bersama-sama oleh keluarga. Orang tua harus mengerti dulu lalu mengajak anaknya berinteraksi bersama,” ujarnya.
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menambahkan bahwa teknologi AI tidak boleh dijadikan alat diagnosis mandiri. “Medical is combination between science and art. Jadi keputusan di bidang kedokteran itu tidak bisa diambil dari hanya satu sumber informasi saja,” kata Dante.
Kemenkes telah menguji coba AI melalui portable x-ray untuk mendeteksi TBC, termasuk pada orang tanpa gejala tetapi memiliki riwayat kontak erat. Teknologi ini membantu menemukan kasus tersembunyi lebih cepat, namun hasil analisis tetap tidak boleh dijadikan dasar pengobatan tanpa supervisi tenaga medis. (ant)