Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

Indonesia Katalis Reformasi ASEAN

Ilustrasi - Seorang pejalan kaki melintas di depan sebuah baliho bergambar logo ASEAN serta sejumlah bendera negara-negara ASEAN dan negara mitra-Widodo S. Jusuf-ANTARA

Sebagai salah satu pendiri Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN),  Indonesia memainkan peran penting dalam membentuk fondasi regionalisme di Asia Tenggara.

Peran awal Indonesia dalam mendirikan ASEAN pada 1967 bersama Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, tak bisa semata-mata dikaitkan dengan aspek luas wilayah atau besarnya jumlah penduduk. Hal yang jauh lebih menentukan adalah langkah diplomatik Indonesia setelah konfrontasi dengan Malaysia.

Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto waktu itu, Indonesia menempuh kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, dengan mengedepankan dialog, meredam ketegangan, dan membangun kembali kepercayaan antarnegara di kawasan. Dari situ, komitmen Indonesia terhadap stabilitas regional mulai ditegaskan.

Dari komitmen awal itu, peran Indonesia dalam ASEAN terus berlanjut. Bisa dibilang selama dekade 1990-an, Indonesia menjadi aktor sentral dalam ekspansi ASEAN. Masuknya Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), serta Kamboja (1999) tak lepas dari lobi dan pengaruh Indonesia. ASEAN-10 pun menjadi kenyataan. Dari sini, posisi Indonesia seolah tak tergantikan.

BACA JUGA:AI Indonesia: Diatur oleh Etika atau Undang-Undang

Namun, posisi sentral itu perlahan diuji. Setelah krisis politik dan ekonomi tahun 1998, fokus Indonesia banyak tersedot ke ranah domestik. Transisi demokrasi, konflik separatis, dan agenda reformasi menggeser prioritas kebijakan luar negeri Indonesia.

Meski demikian, Indonesia tidak sepenuhnya meninggalkan peran aktifnya dalam ASEAN. Lewat tangan Presiden Habibie, Presiden Megawati, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia tetap berkontribusi dalam menginisiasi berbagai forum penting, termasuk Bali Concord II yang memperkenalkan gagasan Komunitas ASEAN.

Langkah ini menegaskan bahwa Indonesia masih memiliki posisi strategis sebagai penggerak dalam momentum-momentum krusial kawasan.

Akan tetapi, seiring waktu dan dinamika yang terus berubah, kiwari mulai muncul pertanyaan ihwal masihkah Indonesia dipandang sebagai pemimpin informal ASEAN? Ataukah posisi tersebut kini perlahan bergeser, dan siap diambil alih oleh negara-negara lain yang tampil lebih agresif dalam diplomasi dan pertumbuhan ekonominya?

BACA JUGA:Akses Cepat Pupuk Subsidi untuk Merawat hHarapan Petani Padi

Ambil contoh Vietnam. Dalam dekade terakhir, Vietnam menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang relatif solid, dengan angka rata-rata mendekati 6 persen per tahun meski sempat terdampak pandemi dan perlambatan global. Di sisi geopolitik, Hanoi juga kian vokal dalam isu Laut Tiongkok Selatan, memanfaatkan posisinya sebagai mitra strategis bagi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE).

Sementara itu, Singapura menawarkan model kepemimpinan yang berbeda: teknokratis, efisien, dan ditopang oleh kekuatan institusi. Dalam isu-isu seperti digitalisasi, keuangan, dan pendidikan regional, kontribusi Singapura semakin diakui dan bahkan sering dijadikan rujukan oleh negara-negara tetangga.

Di tengah dinamika itu, Indonesia cenderung mengambil pendekatan yang lebih hati-hati. Dalam krisis Myanmar, misalnya, Indonesia berusaha menjadi fasilitator perdamaian dengan mendorong implementasi Lima Poin Konsensus. Namun hingga kini, hasilnya masih terbatas. Junta militer Myanmar belum menunjukkan komitmen nyata untuk menjalankan kesepakatan tersebut secara substansial.

Sebagian kalangan menilai bahwa Indonesia tak lagi tampil sebagai “juru bicara moral” kawasan. Kepemimpinan Indonesia dinilai semakin pasif, dan cenderung ragu-ragu dalam menyikapi isu-isu strategis. Padahal, Asia Tenggara kini menghadapi tantangan besar, dari meningkatnya rivalitas antara AS Serikat dan Tiongkok, krisis iklim yang kian mendesak, hingga ketimpangan pembangunan antarnegara anggota ASEAN.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan