Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

Koperasi Komando: Menyoal Risiko Program KDMP di Desa

H. Hamlet Subekti -(Dok: Pribadi)-

BELITONGEKSPRES.COM - Bung Hatta (Drs. Mohammad Hatta – Wakil Presiden RI pertama) pernah menyebutkan bahwa “koperasi adalah soko guru ekonomi”, karena koperasi berangkat dari pemikiran bahwa sistemnya bersifat kekeluargaan: dari, oleh, dan untuk anggota. Mungkin mendasarkan pada pemikiran ini, Presiden Prabowo menggagas pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), yang disambut secara antusias dan gegap gempita oleh sebagian publik.

Menakar Perspektif Inpres No. 9/2025

Program KDMP diluncurkan oleh pemerintahan Prabowo melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2025. Proyek ambisius ini ditaksir akan menelan anggaran hingga Rp400 triliun, dengan rincian per koperasi mencapai Rp4 miliar hingga Rp5 miliar untuk sekitar 80.000 desa di seluruh Indonesia. 

Dalam Inpres ini juga terdapat instruksi khusus kepada Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) untuk melaksanakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui jalur koperasi KDMP.

Secara prinsip, model desentralistik memang memungkinkan koperasi menjadi mitra strategis untuk program MBG. Namun, bila koperasi dibentuk secara top-down dengan pendekatan komando dari pusat, hal ini justru menyimpang dari prinsip dasar koperasi. 

BACA JUGA:Celios Dorong Blended Finance Jadi Skema Pembiayaan Koperasi Desa

Koperasi seharusnya mengedepankan nilai-nilai sukarela, keterbukaan, pengelolaan demokratis oleh anggota, serta kontribusi modal secara adil dari seluruh anggotanya. Prinsip inilah yang menjadikan koperasi sebagai entitas otonom yang bisa diberdayakan dengan fleksibilitas untuk merancang, mengelola, dan mengevaluasi pelaksanaan MBG sesuai dengan konteks lokal masing-masing desa.

Sejarah mencatat bahwa koperasi yang dibentuk atas inisiatif negara umumnya gagal dan tidak bertahan lama. Yang lebih krusial dalam konteks ini adalah perbedaan hak kelola antara Dana Desa dan Dana KDMP. Dana Desa dikelola oleh perangkat desa melalui kepala desa, sedangkan Dana KDMP akan dikelola langsung oleh warga desa melalui pengurus koperasi.

Risiko Fiskal dan Skema Kredit KDMP

Program KDMP juga membawa konsekuensi fiskal baru, baik bagi pemerintah maupun bagi bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Pembentukan koperasi ini akan dibiayai melalui skema pinjaman dari Himbara, dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai jaminan. Artinya, pemerintah pusat menggunakan dana desa untuk mencicil pinjaman tersebut kepada Himbara.

Namun, proses negosiasi antara pemerintah dan Himbara terkait plafon kredit tidak berjalan mulus. Semula plafon ditetapkan sebesar Rp4–5 miliar dengan tenor 10 tahun. Kini direvisi menjadi Rp3 miliar dengan tenor 6 tahun. Ini berarti selama enam tahun ke depan, dana yang diterima desa dari pemerintah pusat akan dipotong untuk membayar cicilan pembentukan koperasi.

Terlepas dari berapapun nilai plafonnya, skema ini tetap berisiko menjerat desa dalam beban utang jangka panjang. Dalam realitasnya, hanya sebagian kecil desa yang menerima alokasi dana hingga Rp2 miliar dari APBN 2025, sedangkan mayoritas justru mendapat kurang dari Rp1 miliar. 

Bila kinerja keuangan KDMP bermasalah, maka desa akan menanggung kerugian ganda. Pertama, dana desa tetap akan dipotong untuk melunasi cicilan KDMP. Kedua, pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) bisa terganggu karena kekurangan modal akibat dana tersedot untuk membayar utang.

BACA JUGA:Koperasi Desa Merah Putih Raup Potensi Untung Rp50 Triliun: Tengkulak Tersingkir, Petani Sejahtera!

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan