Koperasi Komando: Menyoal Risiko Program KDMP di Desa
H. Hamlet Subekti -(Dok: Pribadi)-
Ancaman Likuiditas dan Stabilitas Perbankan
Gagalnya program KDMP bukan hanya merugikan desa, tetapi juga dapat berdampak serius terhadap likuiditas perbankan nasional. Lonjakan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) dari koperasi-koperasi yang tidak bankable berpotensi membebani neraca keuangan Himbara.
Kondisi ekonomi nasional saat ini pun sudah cukup rapuh. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio NPL perbankan mengalami kenaikan pada Februari 2025 sebesar 2,22%, naik dari 2,18% pada Januari 2025. Sementara itu, menurut Bank Indonesia, pertumbuhan tahunan penyaluran kredit ke koperasi juga menunjukkan tren penurunan signifikan: dari 16,3% pada Juli 2023 menjadi hanya 4,1% pada Maret 2025.
Lebih lanjut, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mencatat bahwa rasio NPL koperasi mencapai 8,5%, jauh di atas rata-rata perbankan. Data ini mengindikasikan bahwa kinerja sektor koperasi belum mengalami perbaikan berarti dan justru menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Dengan demikian, dari kacamata perbankan, koperasi saat ini dinilai belum layak mendapat pembiayaan berskala besar atau dianggap tidak bankable.
Pendekatan Lebih Realistis dan Organik
Sebagai alternatif yang lebih realistis, program yang menyasar desa sebaiknya benar-benar didasarkan pada kebutuhan ekonomi rakyat secara riil. Program ambisius yang membebani fiskal dan menjerat desa dalam utang jangka panjang seharusnya dihindari.
Pemerintah lebih tepat jika memperkuat koperasi yang telah berjalan secara organik di desa, melalui dukungan modal bergulir berbasis hibah, pelatihan manajemen usaha, hingga penjaminan akses pasar yang lebih luas.
BACA JUGA:Arief Prasetyo: Koperasi Merah Putih Punya Potensi Jadi Pusat Pangan Murah Berkualitas
Lebih jauh, tidak semestinya alokasi Dana Desa digunakan untuk membiayai program yang dirancang sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Dana Desa semestinya difokuskan untuk program-program pembangunan yang berbasis pada aspirasi masyarakat desa itu sendiri, sebagaimana tertuang dalam RPJMDes. Dalam hal ini, peran pemerintah pusat cukup sebagai fasilitator, bukan pengendali penuh.
Skema yang lebih ideal justru melalui penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), bukan pembentukan koperasi yang bersifat “komando” dari atas. Pendekatan ini tidak hanya lebih menghormati potensi dan kemandirian desa, tetapi juga lebih sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menjamin otonomi desa dalam mengelola pembangunan dan keuangannya.
Dengan memberikan ruang otonomi yang lebih besar kepada desa untuk merancang dan menjalankan program berdasarkan kebutuhan lokal, pembangunan akan berjalan lebih inklusif, berkelanjutan, dan merata.
Selain itu, pendekatan ini juga sejalan dengan semangat desentralisasi fiskal dan prinsip subsidiaritas. Yaitu pengambilan keputusan dilakukan sedekat mungkin dengan masyarakat yang terdampak langsung di pedesaan.
*) H. Hamlet Subekti adalah pemerhati sosial-ekonomi, domisili Semarang.