Celios: Perppu Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen Bukti Keberpihakan Prabowo pada Rakyat
Sejumlah pengunjuk rasa membawa poster saat aksi penolakan PPN 12 persen di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024). -Muhammad Ramdan/foc/am.-ANTARA FOTO
BELITONGEKSPRES.COM - Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai bahwa penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen merupakan langkah strategis yang menunjukkan keberpihakan Presiden Prabowo Subianto terhadap masyarakat.
Direktur Hukum Celios, Mhd Zakiul Fikri, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), berpotensi menambah beban ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah bawah.
"Saat ini adalah momentum bagi Presiden Prabowo untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dengan membatalkan kebijakan yang dapat memperparah kesulitan ekonomi mereka," ujarnya.
Hasil kajian Celios menunjukkan bahwa peningkatan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022 telah memicu lonjakan inflasi dari 3,47 persen menjadi 4,94 persen (yoy).
BACA JUGA:DPR Tekankan Pentingnya Menjaga Stabilitas Ekonomi Menjelang Natal dan Tahun Baru 2025
BACA JUGA:Pemerintah Tegaskan Kenaikan Tarif PPN Tidak Pengaruhi Sektor Transportasi Publik
Dengan rencana kenaikan menjadi 12 persen, inflasi diperkirakan mencapai 4,11 persen pada 2025, jauh di atas posisi terakhir November 2024 yang hanya 1,55 persen. Inflasi ini diperkirakan akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat.
Menurut perhitungan Celios, keluarga kelas menengah harus menghadapi peningkatan pengeluaran hingga Rp354.293 per bulan atau sekitar Rp4,2 juta per tahun. Sementara itu, keluarga miskin diprediksi menanggung kenaikan pengeluaran sebesar Rp101.880 per bulan atau sekitar Rp1,2 juta per tahun.
Ironisnya, tambahan beban ini tidak diimbangi dengan peningkatan signifikan pada pendapatan. Rata-rata kenaikan gaji di Indonesia pada 2023 hanya 2,8 persen, atau sekitar Rp89.391 per bulan. Bersamaan dengan itu, angka pengangguran mencapai 11,7 persen, dengan lebih dari 64 ribu pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga November 2024.
Zakiul menegaskan bahwa kebijakan kenaikan PPN ini bertentangan dengan prinsip keadilan hukum dan ekonomi. Menurutnya, "Ketentuan perpajakan harus mencerminkan keterwakilan rakyat (no taxation without representation) dan tidak boleh menjadi sumber krisis ekonomi yang memperburuk kemiskinan."
BACA JUGA:Pengenaan PPN pada QRIS Dibebankan ke Pedagang, Bukan Konsumen
BACA JUGA:Wujudkan Kemandirian Pangan: Target Cadangan Beras Pemerintah Ditingkatkan Jadi 2,5 Juta Ton
Jika kebijakan ini tetap diterapkan, ia memperingatkan bahwa dampaknya tidak hanya terbatas pada ekonomi, tetapi juga berpotensi memicu masalah hukum dan sosial yang lebih luas, termasuk inflasi yang tidak terkendali, melemahnya daya beli rumah tangga, meningkatnya angka pengangguran, serta tertekannya sektor UMKM dan industri manufaktur.
Mengingat keterbatasan waktu dan kondisi politik saat ini, Zakiul mendorong pemerintah untuk menggunakan jalur penerbitan Perppu sebagai solusi cepat. Ia menyoroti bahwa preseden penerbitan Perppu terkait perpajakan telah terjadi di era Presiden Joko Widodo, meskipun lebih banyak diarahkan pada kepentingan kelompok tertentu.