Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

Menjaga Nurani di Balik Seragam: Tragedi Brigadir Nurhadi dan Ujian Moral Polri

Menjaga Nurani di Balik Seragam: Tragedi Brigadir Nurhadi dan Ujian Moral Polri--(Antara)

Ia memberikan apresiasi kepada tim penyidik dan jaksa yang dinilai telah bekerja berdasarkan standar operasional prosedur (SOP). Namun, ia menekankan bahwa kepatuhan administratif bukanlah akhir dari keadilan --itu baru langkah awal menuju kebenaran sejati.

Sari menegaskan, ketika penegak hukum justru menjadi bagian dari pelanggaran hukum, luka yang muncul tidak lagi bersifat personal, melainkan institusional. Sebab masyarakat yang selama ini menaruh kepercayaan kepada aparat sebagai pelindung dan pengayom, kini dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa pelindung itu bisa juga menjadi pelaku.

Kepercayaan publik adalah modal sosial terbesar bagi lembaga penegak hukum. Namun modal itu sangat rapuh; ia bisa runtuh hanya karena segelintir orang yang kehilangan kendali moral dan melupakan makna sejati dari seragam yang mereka kenakan.

Bagi masyarakat biasa, polisi bukan sekadar penegak hukum, melainkan juga panutan moral dan penjaga nurani publik. Seragam Bhayangkara tidak hanya melambangkan kewenangan dan kekuasaan, tetapi juga menyiratkan harapan --bahwa di baliknya ada sosok yang menjaga rasa aman, keadilan, dan kemanusiaan.

Namun, ketika seorang polisi justru kehilangan nyawa di tangan sesama aparat, muncul pertanyaan mendasar di benak publik: apa yang terjadi dengan nilai-nilai luhur yang dahulu diikrarkan dalam Tribrata dan Catur Prasetya?

BACA JUGA:Membina Generasi Alpha di Era Digital: Menuntun Anak di Tengah Dunia Layar

Pertanyaan itu bukan sekadar gugatan terhadap individu pelaku, tetapi juga panggilan bagi seluruh institusi kepolisian untuk menengok kembali jati dirinya. Apakah masih berpijak pada nurani dan pengabdian, atau telah terjebak dalam bayang-bayang kekuasaan tanpa arah moral.

Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) menegaskan bahwa proses penyidikan atas kematian Brigadir Muhammad Nurhadi dilakukan dengan penuh keseriusan dan keterbukaan. Namun bagi publik, keadilan sejati tidak berhenti pada tuntasnya proses hukum.

Menjaga Nurani

Tragedi kematian Brigadir Muhammad Nurhadi semestinya menjadi momentum reflektif bagi seluruh lembaga penegak hukum di Indonesia. Peristiwa ini mengingatkan bahwa hukum tanpa moral hanya akan menumbuhkan rasa takut, bukan keadilan.

Sebaliknya, moral tanpa keberanian hukum hanyalah wacana tanpa makna. Keduanya harus berjalan beriringan, saling menopang, agar penegakan hukum benar-benar berpihak pada kemanusiaan.

Dalam konteks kelembagaan, terdapat tiga langkah penting yang perlu diperkuat.

Pertama, pembinaan etika yang tidak berhenti di ruang akademi kepolisian, melainkan menjadi budaya hidup di setiap jenjang komando. Etika bukan sekadar teori yang dihafal, tetapi harus diwujudkan dalam praktik sehari-hari --bagaimana aparat memperlakukan masyarakat, rekan kerja, dan bahkan kekuasaan yang mereka emban.

Kedua, perlunya pengawasan yang independen dan berani. Pengawasan internal semata tidak cukup untuk menjamin objektivitas. Dibutuhkan mekanisme partisipatif yang melibatkan publik, akademisi, dan lembaga independen agar kontrol terhadap kekuasaan tidak berhenti di meja internal institusi.

Ketiga, keberanian untuk mengakui kesalahan. Transparansi bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral. Di era keterbukaan informasi, kejujuran institusi dalam menindak pelanggaran justru menjadi pondasi utama untuk memulihkan kepercayaan publik yang retak.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan