Dalam konsep ini, produk-produk kecil yang mendukung lipstick effect tidak hanya dirancang untuk memenuhi kebutuhan emosional, tetapi juga membawa dampak sosial dan lingkungan yang positif.
Misalnya, industri kosmetik lokal dapat mengadopsi pendekatan berbasis keberlanjutan dengan menggunakan bahan alami dan kemasan ramah lingkungan.
Selain itu, makanan premium dapat dikembangkan sebagai bagian dari ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal, menciptakan lapangan kerja sekaligus melestarikan budaya.
BACA JUGA:Pentingnya Literasi Digital Terkait Larangan Main Medsos pada Anak
Rekomendasi lain adalah penguatan ekosistem UMKM melalui teknologi dan akses pasar. Digitalisasi UMKM tidak hanya membuka peluang untuk menjangkau konsumen lebih luas, tetapi juga menciptakan keterhubungan yang lebih erat antara produsen dan konsumen.
Dalam konteks lipstick effect, ini berarti menciptakan rantai nilai yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial.
Dalam skala nasional, kebijakan ekonomi yang mendukung lipstick effect perlu dirancang dengan memperhatikan aspek keadilan dan inklusivitas.
Subsidi atau insentif pajak untuk sektor industri kreatif, kosmetik, dan makanan lokal dapat menjadi langkah awal.
Namun, yang lebih penting adalah menciptakan narasi nasional yang mengaitkan konsumsi kecil ini dengan kontribusi besar pada pembangunan bangsa.
Dalam hal ini, media massa dan kampanye publik dapat memainkan peran penting dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya konsumsi yang bertanggung jawab dan berdampak positif.
BACA JUGA:Era Baru, Guru Kembali ke Hulu
Lipstick effect juga membuka peluang untuk merenungkan hubungan antara ekonomi dan budaya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa manusia tidak hanya hidup dari materi, tetapi juga dari simbol, makna, dan cinta.
Dalam konteks Indonesia, cinta pada diri sendiri, keluarga, dan bangsa menjadi kekuatan yang mendorong masyarakat untuk terus bertahan.
Oleh karena itu, kebijakan ekonomi tidak boleh hanya berfokus pada angka-angka, tetapi juga pada bagaimana menciptakan ruang bagi manusia untuk merasa terhubung, dihargai, dan dihormati.
Fenomena ini juga mengajarkan bahwa ekonomi, pada akhirnya, adalah soal manusia. Ia tidak hanya bergerak melalui mekanisme pasar, tetapi juga melalui emosi, hubungan, dan harapan.