BELITONGEKSPRES.COM - Pengamat energi, Komaidi Notonegoro, menegaskan bahwa harga avtur bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan mahalnya tiket pesawat di Indonesia. Menurutnya, biaya tiket pesawat dipengaruhi oleh berbagai komponen lain yang lebih kompleks.
"Dalam menentukan harga tiket pesawat, terdapat 16 komponen biaya yang harus dipertimbangkan, dan avtur hanya salah satunya. Jadi, tidak tepat jika harga tiket penerbangan domestik dianggap mahal semata-mata karena avtur," jelas Komaidi dalam keterangannya di Jakarta.
Sebagai Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Permenhub Nomor 20 Tahun 2019, yang mencantumkan berbagai komponen tarif pesawat.
Tarif tersebut meliputi tarif jarak, pajak, iuran asuransi, serta biaya tambahan (surcharge). Komponen tarif jarak terdiri dari biaya operasi langsung, baik tetap maupun variabel, seperti sewa pesawat, gaji kru, pemeliharaan, navigasi, dan bahan bakar, termasuk avtur.
BACA JUGA:Arvindo: Kebijakan Kemasan Polos Dinilai Picu Lonjakan Rokok Elektronik Ilegal
BACA JUGA:Menperin: Tren Deflasi 5 Bulan Berturut-Turut Dipicu Lonjakan Barang Impor
Komaidi menjelaskan, meskipun avtur mempengaruhi biaya penerbangan, proporsinya terhadap total harga tiket berkisar antara 20–40 persen, tergantung pada maskapai dan rute. Hal ini berarti bahwa sebagian besar komponen biaya, sekitar 60–80 persen, berasal dari faktor lain di luar harga avtur, seperti biaya bandara, asuransi, dan pajak.
"Mengurangi harga tiket pesawat hanya dengan menurunkan harga avtur bukanlah solusi yang proporsional. Masih ada 15 komponen lainnya yang turut berkontribusi," tambahnya.
Sebagai contoh, Komaidi menunjukkan bahwa pada maskapai seperti Garuda Indonesia, Thai Airlines, dan Singapore Airlines, porsi biaya avtur bervariasi antara 27 hingga 41 persen.
Selain itu, kenaikan harga minyak dunia juga berperan dalam meningkatnya biaya avtur, dengan harga minyak Brent naik dari 64,30 dolar AS per barel pada 2019 menjadi 82,49 dolar AS pada 2023.
BACA JUGA:Penerimaan Pajak dari Ekonomi Digital Capai Rp28.91 Triliun, dari Kripto hingga Fintech
BACA JUGA:Jokowi Siap Hadiri Groundbreaking Baru di IKN, Tunggu Undangan Kepala Otorita
Untuk mengatasi masalah ini, Komaidi menyarankan agar para pengambil kebijakan dari berbagai sektor bekerja sama mencari solusi yang komprehensif.
"Semoga para pemangku kepentingan lebih fokus pada kerja sama, bukan saling menyalahkan, agar dapat menemukan jalan keluar yang tepat atas permasalahan ini," pungkasnya. (ant)