Karena itu, tidak mengherankan bila publik kini menyerukan #KluivertOut dan kembali merindukan Shin Tae-yong. Seruan itu bukan semata bentuk kekecewaan, melainkan cermin dari rasa kehilangan arah dan keyakinan terhadap proses yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Wajar pula bila kini suporter tidak lagi menuntut “proses,” melainkan hasil nyata --tiket menuju Piala Dunia 2026.
Pertanyaan pun mengemuka di ruang-ruang diskusi sepak bola nasional: Bagaimana jika Patrick Kluivert tak pernah datang, dan Shin Tae-yong tetap menakhodai timnas?
Aktor dan pemerhati sepak bola Ibnu Jamil memberi jawaban yang mungkin mewakili perasaan banyak orang.“Memang enggak ada jaminan juga yang lama itu membawa kita ke Piala Dunia,” ujarnya, “tetapi mungkin kerelaan hati kita akan jauh lebih besar ketimbang yang saat ini.”
Langkah PSSI Setelah Gagal Lolos ke Piala Dunia 2026
PSSI kini berada di persimpangan jalan setelah keputusan memecat Shin Tae-yong dan menunjuk Patrick Kluivert berujung kegagalan membawa Indonesia ke Piala Dunia 2026.
Ada dua langkah strategis yang bisa ditempuh federasi sepak bola nasional itu: memecat Kluivert atau memberinya kesempatan kedua.
Jika PSSI memilih memecat Kluivert, maka tantangan berikutnya adalah menemukan sosok pelatih dengan rekam jejak yang lebih kuat dari Shin Tae-yong.
Sosok ideal tersebut bukan sekadar pelatih klub atau berpengalaman di level lokal, melainkan figur berpengalaman di level internasional, yang memahami karakter sepak bola Asia Tenggara sekaligus mampu membangun fondasi jangka panjang untuk timnas.
BACA JUGA:Patrick Kluivert Optimistis Hadapi Irak dan Arab Saudi di Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
Namun, jika PSSI memilih mempertahankan Kluivert, keputusan itu hanya dapat dibenarkan bila ada target konkret dan hasil nyata, terutama di Piala Asia 2027.
Turnamen itu akan menjadi panggung pembuktian apakah Kluivert benar-benar layak melanjutkan proyek besar yang sebelumnya ditinggalkan Shin Tae-yong.
Catatan ini menjadi penting karena ekspektasi publik terhadap timnas masih sangat tinggi. Bukan hanya karena peninggalan kinerja positif Shin Tae-yong, tetapi juga karena PSSI sempat menggembar-gemborkan Kluivert dan stafnya sebagai “tim kepelatihan terbaik yang pernah kita miliki.”
Kini, yang ditunggu publik bukan lagi janji perubahan atau proyek jangka panjang, melainkan komitmen PSSI untuk belajar dari kesalahan dan menempatkan masa depan sepak bola Indonesia di atas ego politik sepak bola itu sendiri. (Antara)