BELITONGEJKSPRES.COM - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus mengungkapkan kekhawatirannya terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.
Dalam pernyataannya di Jakarta pada Minggu, Deddy menekankan bahwa kritiknya bukan ditujukan kepada pemerintahan Prabowo Subianto, melainkan sebagai tanggapan terhadap kesepakatan yang sudah ada dari periode sebelumnya.
Sebagai anggota Komisi II DPR RI, Deddy menjelaskan bahwa fraksinya meminta pemerintah untuk meninjau kembali keputusan ini dengan mempertimbangkan situasi ekonomi masyarakat yang masih rentan.
"Kami ingin pemerintah mengevaluasi apakah sekarang adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan kenaikan ini, mengingat kondisi ekonomi yang tidak stabil," ujarnya.
BACA JUGA:Menteri Agama Dorong Pelasanaan MTQ Hasilkan Imam Masjid yang Berkualitas
BACA JUGA:Menkomdigi Meutya Hafid Tekankan Pentingnya AI bagi UMKM dalam Era Digitalisasi
Deddy menegaskan bahwa fraksi PDIP tidak ingin pemerintah menghadapi masalah baru akibat kenaikan PPN yang bisa menambah beban masyarakat.
"Permintaan ini bukan untuk menyalahkan Pak Prabowo, tetapi untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan menciptakan masalah baru. Jika pemerintah yakin bahwa kenaikan ini tidak akan menyusahkan rakyat, kami persilakan untuk melanjutkan," tuturnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kenaikan PPN ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang sebelumnya diusulkan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Deddy menegaskan bahwa PDIP bukanlah inisiator kenaikan tersebut, melainkan terlibat dalam pembahasan sebagai ketua panitia kerja.
"Kami tidak bisa dianggap sebagai pengusul karena inisiatif itu datang dari pemerintah saat era Presiden Jokowi," ujarnya. Deddy menambahkan bahwa pada saat pengesahan UU tersebut, harapan akan kondisi ekonomi Indonesia dan global saat itu cukup baik.
Namun, kondisi terkini yang menunjukkan penurunan daya beli masyarakat, peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, memunculkan keprihatinan yang mendesak untuk meninjau kembali rencana kenaikan PPN ini. (ant)