Awas Polarisasi di Sekitar Anda! (Catatan Perjalanan Program APS 2024)
Ares Faujian--
Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi momentum penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, termasuk di tahun 2024. Namun, di balik hiruk-pikuk pesta demokrasi ini, ancaman polarisasi kerap mengintai. Ihwal ini tak hanya di kalangan elit politik, tetapi juga merembes hingga ke masyarakat akar rumput.
Polarisasi ini berpotensi memecah belah persatuan, menciptakan friksi di pemerintahan, dan memperdalam jurang perbedaan di antara kelompok masyarakat. Fenomena sosial ini, jika tidak dikelola dengan bijak, berpotensi meninggalkan jejak panjang yang merugikan stabilitas sosial dan politik bangsa dari pusat hingga ke daerah.
Di Indonesia, dampak polarisasi terlihat jelas pada pemilihan presiden 2019, di mana para pendukung 2 calon utama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, terpecah menjadi 2 kubu yang acap kali saling menegasikan. Fenomena ini tidak hanya terlihat di ruang publik tetapi juga di media sosial. Hal yang seperti ini juga terjadi di beberapa negara, seperti USA, Spanyol, hingga negara-negara Afrika.
Penulis teringat pengalaman berharga mengikuti America Field Service (AFS) Global STEM Educators 2024, di mana materi bertema “Polarized Societies” menjadi pembelajaran yang berarti. Dalam sesi tersebut, kami pendidik dari berbagai negara belajar memahami dinamika polarisasi, dari faktor penyebab hingga cara mengatasinya.
BACA JUGA:Kenaikan PPN dan Masa Depan Kelompok Menengah
Tujuan mempelajari polarisasi ini jelas, yakni menciptakan masyarakat yang lebih responsif melalui dialog, kolaborasi, dan pendidikan berbasis empati. Program AFS ini membuka mata penulis bahwa memahami polarisasi bukanlah sekadar isu akademis, tetapi juga langkah awal untuk menciptakan perubahan sosial yang nyata.
Definisi Polarisasi
Polarisasi adalah keadaan di mana perbedaan pendapat menjadi lebih dalam, lebih terpecah, dan sering kali tidak dapat dijembatani, ujar Cass R. Sunstein dalam bukunya Going to Extremes (2009). Fenomena ini tidak hanya terjadi di ruang politik, tetapi juga menyebar ke ranah sosial, budaya, bahkan agama.
Dalam dunia yang semakin terhubung, polarisasi sosial menjadi tantangan global, mengancam harmoni dan stabilitas masyarakat.
Polarisasi dapat didefinisikan sebagai perpecahan masyarakat menjadi 2 atau lebih kubu yang saling bertentangan dalam nilai, kepentingan, atau pandangan.
BACA JUGA:Kesejahteraan Guru dan Jeratan Pinjol
Menurut Lilliana Mason (2018) dalam bukunya Uncivil Agreement: How Politics Became Our Identity, polarisasi berpotensi besar diperburuk oleh identitas kelompok yang melekat pada individu. Polarisasi bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan keterbelahan yang menyebabkan hilangnya rasa percaya dan empati di antara kelompok yang berlawanan.
Berbagai faktor menyebabkan polarisasi sosial. Jika kita berbicara era digital, media sosial memainkan peran besar sebagai penguat echo chambers, yang mana algoritma hanya menampilkan konten yang sejalan dengan keyakinan kita. Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (2021) menunjukkan bahwa algoritma media sosial dapat meningkatkan polarisasi dengan mempersempit paparan informasi.
Selain itu, ketidakadilan struktural seperti kesenjangan ekonomi dan diskriminasi juga memperburuk polarisasi. Di Indonesia, politik identitas dan isu agama biasanya digunakan untuk memecah belah masyarakat, seperti yang terlihat pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Salah satu dinamika yang memperburuk polarisasi adalah confirmation bias. Menurut psikolog Jonathan Haidt (2012) dalam bukunya The Righteous Mind, confirmation bias adalah kecenderungan kita untuk mencari, menginterpretasi, dan mengingat informasi yang mendukung keyakinan kita, sambil mengabaikan bukti yang bertentangan. Hal ini menyebabkan pandangan kita menjadi semakin kaku dan tertutup terhadap dialog yang konstruktif.