Sri Mulyani Pastikan PPN Naik Jadi 12 Persen Mulai 2025, Apa Dampaknya?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati -- (Antara)
JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan tetap dilaksanakan mulai 1 Januari 2025.
Menurut Sri Mulyani, kenaikan tarif PPP 12 persen tersebut sesuai amanat Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disusun sejak 2021.
Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Kamis, 14 November 2024, Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebijakan perpajakan ini dirancang dengan hati-hati. Yakni, dengan mempertimbangkan berbagai sektor, termasuk kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat.
"Artinya kita membuat kebijakan perpajakan ini bukan membabi buta (asal-asalan). Waktu itu, kita juga memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan dan makanan pokok, terutama di tengah pandemi Covid-19," ujarnya seperti dilansir dari Antara.
BACA JUGA:Untuk Keberlanjutan Fiskal, Sri Mulyani: Kebijakan Kenaikan PPN Tidak Dibuat Secara Membabi Buta
Alasan Kenaikan PPN
Sri Mulyani menggarisbawahi pentingnya menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar mampu merespons berbagai krisis, seperti pandemi atau krisis keuangan global.
"APBN kita harus sehat, tapi tetap fleksibel untuk menghadapi situasi darurat," tambah Menteri Keuangan.
Meski begitu, Kementerian Keuangan berjanji akan memberikan penjelasan yang transparan kepada masyarakat terkait pelaksanaan kebijakan ini.
"UU-nya sudah ada, tapi kami tetap akan berhati-hati dalam implementasinya dan menyampaikan penjelasan dengan baik," kata Sri Mulyani.
BACA JUGA:Jetour Pilih Perakitan Lokal, Antisipasi Kenaikan PPN 12 Persen
Tahapan Kenaikan PPN
Kebijakan ini tercantum dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021. PPN dinaikkan secara bertahap, mulai dari 11 persen pada April 2022, hingga 12 persen pada Januari 2025.
Namun, wacana kenaikan PPN ini memicu diskusi panas. Sebagian pihak khawatir kebijakan ini akan membebani masyarakat, terutama di tengah indikasi pelemahan daya beli. Bahkan, ada desakan agar pemerintahan baru mempertimbangkan ulang keputusan ini.