Hendrya Sylpana

Kawin Thinking

Dahlan Iskan--

Siapa antagonis. Siapa protagonis.

Itulah pertanyaan untuk anak SMP setelah mereka mendapat pelajaran membaca buku cerita.

Bisa jadi antar siswa di satu kelas punya pendapat tidak sama. Buku ceritanya memang sengaja menampilkan cerita yang bisa ditafsirkan berbeda.

Guru SMP kemudian memancing siswa untuk saling memperdebatkan posisi tokoh dalam cerita itu.

"Guru tidak harus buru-buru memberikan kesimpulan siapa yang benar," ujar Chris Mohn, mantan guru di pedalaman Kansas di Amerika Serikat. "Bahkan kalau perlu tidak usah memberikan keputusan," tambahnyi.

Pelajaran critical thinking dimulai saat guru sudah waktunya bertanya: mengapa begitu. Juga mengapa seperti itu. ''Mengapa'' adalah kuncinya.

Dari ''mengapa'' itu akan muncul jawaban yang berbeda-beda. Juga muncul perspektif yang berbeda. Guru harus pandai memancing murid untuk berani mengemukakan pendapat yang berbeda. Bahkan kalau pendapat itu cenderung sama guru harus bisa memancing munculnya pendapat yang sama tapi dari perspektif lain.

Pagi itu saya makan oatmeal. Saya bikin sendiri. Tiga sendok oatmeal saya masukkan tepak. Lalu saya tuangi susu satu gelas besar. Saya masukkan microwave. Tiga menit.

Oatmeal-nya masih berenang-renang di susu. Ketika saya sendok lebih banyak susunya dari oatmeal-nya. Masih panas. Enak. Segar. Itulah sarapan saya.

BACA JUGA:Dangkal Dalam

Chris dan John Mohn duduk di seberang meja. Minum kopi. Hanya kopi. Chris yang bikin kopi di mesin kopi. Kopi Gayo, Aceh.

John minum kopi sambil lihat handphone. Serius. Tiba-tiba ia berdiri. Mendekat ke saya: ia menunjukkan salah satu komentar perusuh di Disway bertopik Tawaduk Thinking. Ada tulisan Arab di komentar itu.

"Apakah banyak orang Indonesia yang punya pendapat seperti ini?" tanya John.

Rupanya John tidak hanya suka membaca Disway tapi juga suka melihat sampai ke komentar perusuh. Tentu sudah yang dalam bahasa Inggris.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan