Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

Dilema Buah Simalakama: Perlindungan Guru Vs Perlindungan Siswa

Ares Faujian--(Dok: Pribadi)

BELITONGEKSPRES.COM - Peringatan Hari Guru Nasional 2025, muncul refleksi tajam tentang paradoks di ruang pendidikan Indonesia, yakni guru harus dilindungi agar dapat menjalankan tugasnya, tetapi di sisi lain, perlindungan terhadap siswa juga wajib ditegakkan. Inilah dilema kontemporer bak makan buah simalakama yang menyelimuti dunia pendidikan kita.

Dilansir dari kompas.id, guru masih kerap “terjerat hukum” dalam upaya menegakkan tata tertib (Napitupulu, 2024). Dalam dekade ini, guru sangat rentan terhadap tindakan hukum ketika menjalankan disiplin di kelas. Hal ini telah banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia melalui berbagai pemberitaan.

Ketakutan ini bukan tanpa dasar. Menurut analisis akademis, interpretasi ketat atas Undang-Undang Perlindungan Anak membuat pendisiplinan siswa yang dulu dianggap biasa kini bisa dituduh sebagai kekerasan (Darmiyati Zuchdi et al., 2017). Bahkan, Komisi X DPR RI pernah menyatakan bahwa beberapa guru merasa “dijerat” oleh UU Perlindungan Anak karena kekhawatiran laporan dari orang tua atau pembela siswa (Wulandari, 2024).

Dirilis dari detik.com, salah satu contoh nyata dilema ini terjadi di Sulawesi Selatan, di mana Dinas Pendidikan menyoroti perlunya Undang-Undang Perlindungan Guru usai seorang siswa di SMAN 1 Sinjai memukul wakil kepala sekolah (Sholat, 2025). Dalam pemberitaan itu, disebut bahwa guru “selalu kalah” karena UU Perlindungan Anak lebih sering digunakan untuk melindungi siswa.

Di sisi lain, perlindungan bagi siswa juga sangat mendesak. Kasus-kasus kekerasan di sekolah terus meningkat. Menurut laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dalam kompas.id (Arandito, 2024), sepanjang 2024 ada 573 kasus kekerasan di satuan pendidikan, dan guru menjadi pelaku terbanyak (43,9%).

BACA JUGA:Sinergi Meningkatkan Kepatuhan Pajak Melalui Single Profile Policy

Krisis perlindungan siswa sangat tragis. Ada kasus lemahnya perlindungan siswa di SMAN 1 Suwawa, Gorontalo, di mana Ombudsman RI menemukan kelemahan dalam prosedur penanganan oleh tim satuan pendidikan (TPPK) setelah laporan pelecehan seksual oknum guru (Ombudsman Gorontalo, 2025). Kondisi ini mendeskripsikan bahwa status ”guru” belum tentu menjadi profesi yang aman bagi para peserta didik di sekolah. 

Liputan 6 melansir kasus bahwa di SMAN 4 Kota Serang, seorang oknum guru diduga melakukan pelecehan seksual terhadap siswi (Gutama, 2025). Komnas Anak bahkan menuntut agar guru semacam itu ditindak tegas dan dinonaktifkan selama proses hukum berjalan. Hal ini belum lagi kasus-kasus di berbagai jenjang pendidikan lainnya, baik itu SD, SMP hingga perguruan tinggi.

Refleksi setiap Hari Guru Nasional ini seolah mengingatkan kita bahwa sistem perlindungan di sekolah perlu dikelola dengan keseimbangan. Ihwal ini untuk menjaga hak dan kewajiban semua pihak agar tidak ada yang merasa terancam atau diabaikan. Kondisi dilematis ini tidak hanya terjadi di suatu daerah, namun terjadi di berbagai daerah lainnya.

Ada beberapa solusi yang dapat diambil dari problematika perlindungan guru vs perlindungan siswa. Solusi yang dapat diambil ini dapat diterapkan secara kondisional dan kolaboratif antarpihak, sesuai situasi, kondisi dan urgensi yang terjadi di lapangan.

Pertama, perlindungan hukum yang seimbang dan jelas. Reformasi kebijakan sangat dibutuhkan untuk pendampingan dan merumuskan pedoman yang memperjelas batasan pendisiplinan dari kriminalisasi. Pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan bisa merancang regulasi yang melindungi guru menjalankan tugas profesionalnya, termasuk hak atas perlindungan hukum, sambil tetap menjaga hak dan perlindungan anak sebagai prioritas utama (Haris & Herman, 2020; Windari et al., 2021). UU Guru dan Dosen (UU No. 14/2005) sudah mengatur perlindungan bagi guru, tetapi implementasinya harus diperkuat agar tidak tumpang tindih dengan perlindungan anak (Yannor, 2024).

Kedua, pendidikan literasi hukum untuk guru dan orang tua. Untuk mengatasi rasa takut guru akan laporan atau tuduhan, perlu ada peningkatan literasi hukum. Pelatihan, workshop, dan pendampingan psikologis dapat membantu guru memahami bagaimana menjalankan disiplin positif tanpa melanggar batas hukum.

BACA JUGA:Pendidikan Bermutu dan HAM: Jadikan Sekolah Ruang Aman dari Kekerasan

Sebaliknya, orang tua/ wali siswa juga perlu diberi pemahaman agar tidak langsung menafsirkan tindakan disiplin sebagai kekerasan yang harus dilaporkan. Dalam hal ini, Kemendikdasmen RI ataupun pihak yang berkompeten maupun berwenang bisa melakukan kolaborasi dalam usaha menyinkronkan ihwal ini melalui sosialisasi dan sinergi bersama. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi miskomunikasi dan misinformasi mendidik, apalagi kasus-kasus yang tak diinginkan. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan