Budaya Belanja Berubah, dari Marketplace ke Social Commerce | TikTok Shop Jadi Raja Baru
Ilustrasi, TikTok Shop--dok. BE
BELITONGEKSPRES.COM - Budaya belanja masyarakat Indonesia kini berubah total. Dari yang dulu mengandalkan pasar tradisional atau e-commerce konvensional, tren kini bergeser ke social commerce, platform yang memadukan hiburan dan transaksi seperti TikTok Shop.
Fenomena ini bukan sekadar tren singkat. Dalam beberapa tahun terakhir, social commerce telah mengguncang lanskap perdagangan digital Indonesia dan mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan produk.
Data dari Kalodata, platform analisis sosial terkemuka, menunjukkan Indonesia kini menjadi pasar terbesar TikTok Shop di dunia. Dominasi ini menjadikan platform asal Tiongkok tersebut pemain utama dalam ekosistem social commerce global.
Perubahan ini terjadi karena cara TikTok Shop menggabungkan tiga hal yang sulit ditandingi e-commerce konvensional: hiburan, interaksi, dan impuls transaksi. Konsumen tidak lagi berbelanja berdasarkan kebutuhan, melainkan karena terpengaruh algoritma, ulasan kreator, atau sesi live shopping yang terasa lebih personal dan spontan.
BACA JUGA:Bukalapak Tutup Marketplace, Masuk ke Dunia Gaming Lewat Multi Realm Games
BACA JUGA:TikTok Bantah Dugaan Monopoli dalam Akuisisi Tokopedia, Tekankan Prinsip Persaingan Sehat
“TikTok Shop menciptakan pola belanja baru. Orang tidak mencari barang, tapi menemukan barang lewat hiburan,” ujar Lawrence Guo, Co-founder dan COO Kalodata, saat membuka Kalodata Indonesia Social Commerce Conference (KISCC) 2025 di Smesco Jakarta.
Guo menyebut fenomena ini membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi, membuka peluang besar bagi kreator konten dan UMKM lokal untuk tumbuh lebih cepat. Di sisi lain, menimbulkan ketergantungan baru terhadap algoritma dan platform asing yang mengendalikan visibilitas produk.
Melalui analisis data, Kalodata membantu pelaku bisnis memahami tren produk, strategi pesaing, hingga menemukan kreator dengan potensi penjualan tertinggi. “Tujuan kami sederhana, agar pelaku bisnis tidak sekadar ikut tren TikTok, tapi benar-benar menguasai data untuk pertumbuhan berkelanjutan,” katanya.
Efek domino dari dominasi TikTok Shop kini terasa di berbagai sektor. Banyak pelaku usaha kecil meninggalkan marketplace konvensional demi interaksi real-time dan jangkauan luas di social commerce. Namun, model bisnis ini juga menekan margin keuntungan dan memperketat persaingan antarpenjual.
Kalodata menegaskan, tanpa literasi digital dan strategi data yang kuat, pelaku lokal akan sulit bersaing di pasar yang dikendalikan oleh algoritma. “Social commerce bisa menjadi mesin pertumbuhan, tapi juga bisa memperdalam kesenjangan digital jika tidak diimbangi dengan pemahaman data,” tutup Guo. (jpc)