Urgensi Perampasan Aset untuk Mempersempit Ruang Korupsi
Juru Bicara Presiden RI Prasetyo Hadi menjawab pertanyaan wartawan terkait sejumlah isu termasuk soal RUU Perampasan Aset di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (9/5/2025)-Mentari Dwi Gayati-ANTARA
Komitmen Presiden terhadap pembahasan RUU Perampasan Aset ditegaskan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 9 Mei 2025 yang lalu yaitu bahwa Presiden Prabowo Subianto bakal bertemu dengan pimpinan DPR dan pimpinan partai politik untuk mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.
Tentu, ini adalah sikap politik (political will) yang kita tunggu-tunggu dari gebrakan Presiden Prabowo Subianto untuk menuntaskan koruptor sampai ke akarnya.
Situasi hari ini memang tak bisa disebut normal. Korupsi telah menjalar seperti penyakit stadium akhir/kronis. Hampir tak ada lini kekuasaan yang steril, dari kementerian dan lembaga, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemerintah daerah, hingga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Kondisi ini semakin menunjukkan bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan sudah menyentuh level yang mengkhawatirkan. Bahkan, estimasi kerugian negara akibat korupsi yang belakangan ini ditangani oleh Kejaksaan Agung disebut-sebut mencapai Rp1 kuadriliun, angka yang sulit dibayangkan dan mungkin belum pernah terjadi dalam sejarah republik ini.
BACA JUGA:Samboja Manfaatkan Energi Terbarukan dari Kotoran Sapi
Tidak hanya besar dari sisi nominal, praktik korupsi kini semakin sistemik dan terstruktur. Modusnya semakin canggih, jaringannya semakin rapi, dan penegakan hukumnya justru seringkali tertatih oleh kepentingan politik, kekuasaan, atau hukum yang tumpul ke atas.
Sementara itu, pemulihan kerugian negara justru terhambat karena tidak adanya instrumen hukum yang memadai untuk merampas aset hasil korupsi, terutama yang tidak bisa langsung dikaitkan dengan proses pidana.
Setengah jalan
Kalau kita berkaca dari perjalanan panjang RUU Perampasan Aset, sejak tahun 2023 sebenarnya di era Presiden Joko Widodo, Pemerintah telah mengirim Surat Presiden (Surpres) RUU Perampasan Aset ke DPR pada 4 Mei 2023. Setelah itu, tidak terdengar lagi kelanjutan pembahasan surat tersebut.
Kalau kita lihat dari 176 RUU dalam Program Legislasi nasional (Prolegnas) DPR yang telah disetujui, RUU Perampasan Aset hanya masuk ke Prolegnas jangka menengah 2025-2029. RUU ini tidak menjadi "barang prioritas".
BACA JUGA:Memahami Chilean Paradoks, Mengantisipasi Jebakan Pendapatan Menengah
Sederhananya, urgensi dari RUU Perampasan Aset adalah bagaimana cara pemerintah untuk mengejar hasil korupsi yang “dipoles” oleh para koruptor dengan berbagai cara, baik yang bersembunyi di balik harta kekayaan berbentuk aset yang sangat sulit dikembalikan kepada negara, termasuk hasil korupsi yang dibawa kabur ke luar negeri.
Namun, perampasan aset hasil kejahatan belum bisa dilakukan karena belum adanya putusan pengadilan. Artinya, saat ini teknologi yang digunakan oleh koruptor telah melewati berbagai inovasi, bahkan melebihi kekuatan hukum yang berlaku di negara kita.
Jadi, inilah sebenarnya yang perlu kita perjuangkan, bahwa negara tidak boleh kalah canggih dan kalah kuat dari para koruptor. Kekosongan hukum perampasan aset inilah yang seharusnya diselesaikan dan disahkan oleh DPR.
Bahkan, RUU Perampasan Aset menjadi syarat Indonesia bisa memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yaitu dengan instrumen pemulihan aset. Sebagaimana juga, aturan tentang perampasan aset menjadi salah satu mandat dari Konvensi Anti korupsi yang digagas oleh PBB (UNCAC).