Wujudkan Ketahanan Pangan Dimulai dari Pekarangan Rumah
Sutejo mengangkat bonggol uwi, saat panen di kebunnya di Ponorogo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu--(ANTARA/Masuki M. Astro)
PONOROGO, BELITONGEKSPRES.COM – Kaos setengah lusuh yang melekat di tubuh Sutejo tampak basah kuyup oleh keringat. Lelaki paruh baya itu baru saja berjuang di bawah sengatan Matahari pagi yang kian meninggi.
Tak banyak yang menyadari, peluh yang menetes dari tubuh seorang doktor sastra sekaligus pegiat literasi tersebut sesungguhnya bagian dari ikhtiar besar: mewujudkan ketahanan pangan dari pekarangan rumah, sebagai kontribusi nyata bagi ketahanan bangsa.
Di lahan sederhana yang ia sebut "rumah kebun", Sutejo baru saja memanen umbi-umbian lokal seperti uwi (Dioscorea alata) dan gembili (Dioscorea esculenta). Halaman rumah yang biasanya menjadi ruang diskusi mahasiswa, dosen, hingga aktivis literasi itu kini berubah fungsi menjadi laboratorium hidup untuk pangan alternatif.
Sejak pandemi Covid-19 pada 2020 membatasi aktivitas masyarakat, ia mulai serius mengolah pekarangan seluas 12 x 26 meter di sisi timur rumahnya. Awalnya hanya menanam singkong, lalu keberhasilannya mendorong eksperimen lebih luas dengan berbagai tanaman lokal, termasuk uwi, talas, hingga gembili.
Selain menjadi cara sederhana untuk mengeluarkan keringat dan menjaga kesehatan tubuh lewat aktivitas fisik serta paparan sinar Matahari, berkebun di pekarangan bagi Sutejo lambat laun menjelma hiburan yang menenteramkan batin. Ada kepuasan tersendiri ketika ia melihat setiap batang tanaman tumbuh subur hingga akhirnya menghasilkan panen melimpah.
Hasil kebun itulah yang membuat banyak orang berdecak kagum. Singkong, uwi, talas, hingga gembili yang ia tanam menghasilkan umbi jauh lebih besar dibanding kebun-kebun pada umumnya.
BACA JUGA:Menjaga Nyala Api Kemerdekaan dari Desa hingga Dunia
Salah satu kisah yang paling mencuri perhatian adalah saat ia menanam uwi manalagi pemberian seorang teman. Hanya dalam waktu sembilan bulan, setiap batang uwi mampu menghasilkan umbi seberat 55 hingga 60 kilogram.
Tidak sedikit yang tercengang, bahkan mereka yang berlatar belakang ilmu pertanian pun mengakui hasil panennya sangat istimewa. Di balik pencapaian itu, ada jejak kenangan pribadi yang melekat kuat.
Meski kesehariannya bergelut dengan sastra dan literasi, Sutejo masih menyimpan warisan ingatan tentang almarhum ayahnya yang gemar bertani. Dari sanalah, mungkin, naluri bercocok tanam itu tumbuh dan kini menjadi bagian penting dari perjalanan hidupnya.
Berbekal ingatan tentang ayahnya yang gemar bertani, Sutejo percaya bahwa rahasia tumbuh kembang tanaman ada pada tanah yang gembur dan subur.
Ia pun meracik kompos sederhana dari sampah rumah tangga yang dicampur kotoran sapi, lalu menambahkan sekam bakar untuk menjaga kegemburan tanah. Semua perawatan dilakukan dengan rasa dan penuh kasih, seakan tanaman itu hidup dan merespons perhatian manusia.
Meski panen selalu melimpah dengan umbi-umbian berukuran besar dan tampak menggoda, Sutejo tidak pernah menjual hasil kebunnya. Sebagian ia konsumsi bersama keluarga, sementara sisanya ia bagikan kepada tetangga maupun kolega yang menyukai singkong, uwi, dan gembili. Baginya, kebun bukanlah ladang komersial, melainkan medium berbagi dan memperkuat ikatan sosial.
Sebagai pendidik sekaligus penggerak literasi, setiap langkah yang ia lakukan selalu bermakna pendidikan. Begitu pula dengan berkebun. Ia menjadikannya sebagai gerakan kecil untuk menumbuhkan kesadaran generasi muda tentang pentingnya ketahanan pangan dan kemandirian.