Pakar ITB Ahmad Dahlan Desak Kenaikan Cukai Rokok Signifikan demi Kesehatan dan Kemandirian Fiskal
Ilustrasi rokok. Dok. JawaPos--
BELITONGEKSPRES.COM - Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta mendorong pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok secara signifikan pada 2025. Langkah ini dinilai penting untuk menjaga kesehatan masyarakat sekaligus memperkuat kemandirian fiskal Indonesia.
Kepala Pusat Studi Center of Human and Economic Development ITB Ahmad Dahlan, Roosita Meilani Dewi, menuturkan bahwa konsumsi rokok masih menjadi penyebab utama meningkatnya kasus penyakit tidak menular (PTM) seperti jantung, stroke, dan kanker. Kondisi ini, menurutnya, membebani anggaran kesehatan, bahkan sempat memicu defisit BPJS Kesehatan hingga Rp25 triliun pada 2019.
“Sejalan dengan semangat kemerdekaan di bulan Agustus, kenaikan cukai rokok akan memberikan dua manfaat sekaligus, yakni investasi untuk kesehatan rakyat dan penguatan fondasi fiskal negara. Merdeka berarti bebas dari adiksi, sehat untuk berkarya, dan mandiri secara fiskal,” ujar Roosita di Jakarta, Kamis 14 Agustus.
BACA JUGA:OJK: 59 Juta Pelajar Sudah Punya Tabungan SimPel, Nilai Total Rp32 Triliun
BACA JUGA:Pembelian Beras SPHP di Ritel Modern Dibatasi Maksimal 10 Kg per Orang
Ia mengutip data WHO yang menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok sebesar 10 persen dapat menurunkan konsumsi 4–8 persen, terutama di kalangan remaja dan masyarakat berpenghasilan rendah. Dari sisi penerimaan negara, cukai tembakau menjadi salah satu penopang utama APBN dengan capaian tertinggi Rp218,6 triliun pada 2022.
Roosita menyarankan agar penerimaan dari cukai rokok dialokasikan untuk program kesehatan nasional dan kampanye antirokok. Ia menilai kebijakan kenaikan cukai dalam lima tahun terakhir terbukti efektif, terlihat dari penurunan produksi rokok nasional dari 341,73 miliar batang pada 2016 menjadi 317,43 miliar batang pada 2024.
Meski begitu, ia mengakui adanya fenomena downtrading di mana konsumen beralih ke rokok lebih murah seperti Sigaret Kretek Tangan (SKT) akibat harga Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I yang meningkat tajam.
Menanggapi kekhawatiran industri terkait potensi hilangnya lapangan kerja dan maraknya rokok ilegal, Roosita menegaskan bahwa tenaga kerja di sektor ini hanya sekitar 0,5 persen dari total pekerja di Indonesia. Sementara itu, risiko peredaran rokok ilegal dapat ditekan melalui penguatan penegakan hukum dan penerapan teknologi seperti digital stamps untuk pelacakan.
“Indonesia harus berani mengambil langkah progresif. Kenaikan cukai rokok bukan sekadar urusan pajak, melainkan tindakan patriotik yang memprioritaskan kesehatan dan masa depan bangsa,” tegas Roosita. (ant)