Membangun Lumbung Padi untuk Petani Berdaulat
Membangun Lumbung Padi untuk Petani Berdaulat--
Jakarta - Harga beras yang tinggi dalam beberapa waktu terakhir tidak serta merta berdampak langsung pada kesejahteraan petani yang semakin baik.
Justru faktanya sebagian besar petani belum panen karena musim ini terlambat tanam akibat el nino.
Petani juga tidak memiliki cadangan gabah sehingga tak bisa menjual hasil taninya di saat harga tinggi. Seluruh gabah dijual saat karena lumbung padi telah menghilang di kebanyakan rumah tangga petani.
Gabah juga dijual karena petani membutuhkan uang segar. Dampaknya petani sebagai produsen juga sesungguhnya menjadi konsumen ketika beras habis. Petani seringkali tak dapat menjangkau harga beras ketika tinggi.
Hanya segelintir petani yang masih memiliki lumbung padi yang terhindar menjadi konsumen beras. Setelah panen segelintir petani tersebut menyimpan gabah untuk kebutuhan beras keluarga hingga musim panen berikutnya.
BACA JUGA:Dugder-an: Beragam Untuk Bersatu
BACA JUGA:Merenda Asa Membebaskan Anak Dari Pneumonia
Misalnya saja seoranh petani bernama Yunus di Cirebon, Jawa Barat. Dari 15—20 ton gabah kering panen yang dipetik setiap musim, Yunus menyimpan 2—3 ton gabah sebagai cadangan.
Gabah disimpan dalam lumbung semi permanen berdinding dan beratap baja ringan berukuran 3 x 3 m atau 2 x 3 m di samping rumah.
Lumbung padi itulah yang menjadi penyelamat bagi Yunus sekeluarga. Yunus memang tak menikmati banyak dari harga gabah tinggi, tetapi paling tidak, Yunus terhindar menjadi konsumen beras ketika harga beras dianggap mencekik oleh masyarakat kebanyakan.
Bagi Yunus, lumbung padi adalah tabungan yang dapat diambil di saat membutuhkan. Ketika membutuhkan beras, Yunus membawa sekarung gabah ke penggilingan. Di beberapa penggilingan kampung, ongkos giling Rp5.000 - Rp8.000/karung.
Tradisi menyimpan beras di lumbung padi itu yang kini hilang di sebagian besar masyarakat petani di Tanah Air.
Bangunan lumbung padi yang dulu terbuat dari kayu, berdinding bambu, dan beratap daun kelapa atau rumbia tak lagi tampak di rumah-rumah petani.
Leuit, lumbung padi dalam Bahasa Sunda, atau kindai dalam Bahasa Banjar, menjadi benda asing bagi anak-anak muda.