Antrean Haji Reguler Capai 46 Tahun, Gagasan Haji Hybrid Muncul sebagai Solusi
Pengurus Kebersamaan Pengusaha Travel Haji Umrah (Bersathu) diterima Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji (BPH) Dahnil Anzar Simanjuntak di Jakarta (3/7)--Dokumentasi Bersathu
BELITOGNEKSPRES.COM - Antrean haji di Indonesia semakin panjang dari tahun ke tahun, seiring dengan tingginya animo masyarakat untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Rekor antrean terpanjang saat ini terjadi di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, yang mencapai hingga 46 tahun.
Secara nasional, rata-rata masa tunggu haji berada di rentang 17 hingga 30 tahun. Sistem antrean pun bervariasi. Di sejumlah provinsi seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta, antrean dihitung berdasarkan wilayah provinsi. Sementara di daerah lain seperti Sulawesi Selatan, Banten, dan Jawa Barat, kuota dibagi menurut kabupaten dan kota.
Fenomena panjangnya masa tunggu ini mendorong munculnya gagasan skema haji hybrid. Ketua Umum Kebersamaan Pengusaha Travel Haji dan Umrah (Bersathu), Wawan Suhada, mengusulkan sistem ini usai bertemu dengan Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji (BPH), Dahnil Anzar Simanjuntak, di Jakarta.
Dalam keterangannya, Wawan menjelaskan bahwa skema hybrid memungkinkan calon jamaah haji reguler yang telah terdaftar untuk beralih ke kuota haji khusus, sesuai dengan regulasi yang berlaku. Hal ini dinilai sebagai solusi realistis di tengah lamanya antrean haji reguler yang bisa mencapai lebih dari 30 bahkan 40 tahun, sementara antrean haji khusus rata-rata hanya sekitar tujuh tahun.
BACA JUGA:Sekolah Rakyat Siap Dimulai 14 Juli, 100 Lokasi Disiapkan untuk Ribuan Siswa
BACA JUGA:Kementerian ATR/BPN Tegaskan Tidak Ada Privatisasi Pulau di Indonesia
Peralihan kewenangan pengelolaan haji dan umrah dari Kementerian Agama ke BPH juga menjadi momentum penting. Sejumlah travel resmi pun memanfaatkan kesempatan ini untuk menyuarakan pembenahan layanan ibadah, baik haji maupun umrah.
Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah praktik umrah backpacker ilegal yang kian marak. Umrah jenis ini dilakukan tanpa melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) resmi dan berizin, sehingga berpotensi merugikan jamaah.
Bersathu secara tegas mendorong BPH untuk melakukan pengawasan dan penertiban terhadap praktik tersebut. Wawan menyebutkan, tata kelola yang baik akan semakin dibutuhkan jika undang-undang yang mengatur penyelenggaraan haji dan umrah segera direvisi dan disahkan.
Bersathu juga mendorong agar revisi atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 bisa segera diselesaikan oleh Pemerintah dan Komisi VIII DPR. Regulasi tersebut akan memperkuat posisi BPH sebagai otoritas tertinggi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
Tak hanya itu, perhatian lebih juga diminta untuk penataan kuota haji khusus. Bersathu mengusulkan agar penentuan user quota dilakukan berbasis sistem yang transparan dan bisa diawasi langsung oleh BPH.
Dengan reformasi menyeluruh dan pengawasan ketat, pelayanan ibadah ke Tanah Suci diharapkan semakin tertib, transparan, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia. (jawapos)