Pemerintah Kurangi Impor LPG dari Timur Tengah, Dialihkan ke AS demi Hindari Tarif Trump
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung memberi keterangan ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (4/7/2025)-Putu Indah Savitri-ANTARA
BELITONGEKSPRES.COM - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM berencana mengurangi ketergantungan impor LPG dari negara-negara Timur Tengah dan meningkatkan pembelian dari Amerika Serikat. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan langkah ini merupakan bagian dari strategi perdagangan energi yang lebih besar dan terarah.
“Impor LPG kita selama ini berasal dari Timur Tengah dan Amerika Serikat. Ke depan, kita akan alihkan sebagian dari Timur Tengah ke AS,” kata Yuliot saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat 4 Juli.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total impor LPG dari Kuwait, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab sepanjang 2024 mencapai USD 714,7 juta dengan volume 1,2 juta ton. Sementara itu, dari AS, nilai impornya sudah menyentuh USD 1 miliar dengan volume mencapai 1,97 juta ton lebih tinggi dari sisi nilai maupun kuantitas.
Langkah alih impor ini juga berkaitan dengan rencana Indonesia meningkatkan belanja energi dari AS hingga USD 15,5 miliar atau setara Rp250 triliun. Belanja tersebut akan mencakup LPG dan crude oil, sebagai upaya memperbaiki neraca dagang Indonesia-AS dan memperkuat posisi tawar dalam menghadapi potensi tarif tinggi dari Negeri Paman Sam.
BACA JUGA:Elnusa Petrofin Sabet Penghargaan Nusantara CSR Awards 2025, Bukti Komitmen Dukung UMKM dan SDGs
BACA JUGA:Cara Investasi Cerdas Mulai Rp100 Ribu di 2025, Ini Strategi untuk Pemula!
“Pada 2024 ini saja, belanja energi kita ke AS sudah USD 4,2 miliar. Target berikutnya adalah hampir empat kali lipat dari angka itu,” ujarnya. Tujuannya jelas: menjaga keseimbangan neraca dagang dan menghindari pemberlakuan tarif tinggi atas ekspor Indonesia.
Yuliot mencontohkan keberhasilan Vietnam yang mampu menurunkan tarif dari 46 persen menjadi 20 persen setelah bernegosiasi dengan AS. Ia berharap Indonesia dapat menempuh strategi serupa.
Isu tarif menjadi semakin krusial setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif sedikitnya 10 persen terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dalam daftar yang dirilis Gedung Putih, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara yang terkena dampaknya, dengan tarif yang bisa mencapai 32 persen.
Trump juga telah menegaskan bahwa tenggat waktu 9 Juli untuk pemberlakuan tarif baru tidak akan ditunda. Artinya, Indonesia harus segera menyusun langkah diplomatik dan ekonomi yang tepat agar tidak terkena dampak negatif dalam jangka panjang. (antara)