Menjaga Industri Nasional Saat Dunia Bergejolak: Ancaman dan Peluang 2025

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sambutannya saat groundbreaking pembangunan proyek Ekosistem Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi Konsorsium ANTAM-IBC-CBL di Artha Industrial Hill, Karawang, Jawa Barat, Minggu (29/6/2025)--(ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa)
JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM – Ketegangan geopolitik dan geoekonomi global kian meningkat, memicu gelombang tantangan baru yang tak terelakkan bagi sektor industri di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Laporan terbaru Kementerian Perindustrian per 2 Juli 2025 menunjukkan bahwa industri nasional tengah berada pada titik kritis, menghadapi risiko sekaligus peluang di tengah perubahan dinamika global yang semakin kompleks. Kondisi ini menuntut penerapan strategi yang lebih adaptif dan responsif agar industri tetap kompetitif.
Salah satu indikator menguatnya arus proteksionisme global terlihat dari kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang menaikkan tarif impor baja dan aluminium menjadi 50 persen, efektif per 4 Juni 2025. Meskipun balasan tarif dari negara lain belum diberlakukan, langkah ini menjadi sinyal awal yang berdampak langsung pada industri dalam negeri.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas, tercermin dari kesepakatan Jenewa yang menetapkan tarif 30 persen bagi produk asal China yang masuk ke AS, serta tarif 10 persen untuk produk AS yang diekspor ke China. Kebijakan ini menimbulkan ancaman serius bagi industri nasional Indonesia.
Salah satu dampak nyata dari kebijakan tersebut adalah potensi produk China membanjiri pasar alternatif, termasuk Indonesia. Hal ini dapat terjadi melalui mekanisme pengalihan perdagangan (trade diversion) atau bahkan praktik dumping, yang dapat mengganggu daya saing produk dalam negeri.
BACA JUGA:Museum Kayu Tuah Himba, Menyingkap Wasiat Hutan Kalimantan
Tak hanya konflik ekonomi, tensi geopolitik global juga turut memperparah situasi. Konflik Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, serta meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel, telah mendorong harga minyak mentah dunia melonjak di atas angka 70 dolar AS per barel.
Kondisi tersebut diperburuk oleh ancaman penutupan Selat Hormuz—jalur vital yang menyumbang sekitar 20 persen pasokan minyak global. Jika jalur ini terganggu, dampaknya akan sangat besar terhadap rantai pasok energi dan bahan baku industri. Lonjakan harga energi dan kelangkaan pasokan dipastikan akan meningkatkan biaya produksi dan menekan kinerja sektor industri nasional.
Situasi ini bukan sekadar tercermin dalam angka statistik semata, melainkan menjadi sinyal nyata atas tekanan serius yang dihadapi industri nasional dalam menjalankan operasionalnya.
Data terbaru menunjukkan Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia turun ke level 46,90 pada Juni 2025—angka yang menandakan fase kontraksi. Penurunan ini menggarisbawahi lemahnya permintaan baru, terutama dari pasar ekspor, yang semakin tertekan akibat ketidakpastian global dan ketegangan perdagangan internasional.
Kontributor Utama
Di tengah gempuran berbagai tantangan global, sektor industri pengolahan nonmigas (IPNM) tetap menunjukkan perannya sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Pada Mei 2025, Indonesia berhasil mencatatkan surplus perdagangan sebesar 4,9 miliar dolar AS, menempatkan negeri ini sebagai negara dengan surplus perdagangan terbesar ketiga di dunia.
Ironisnya, Amerika Serikat—negara yang tengah terlibat perang dagang global—justru menjadi kontributor terbesar terhadap surplus tersebut. Pada April 2025, nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai 2,08 miliar dolar AS, menjadi angka ekspor tertinggi ke satu negara.
BACA JUGA:Hilirisasi Rempah Indonesia: Strategi Bangkitkan Devisa dan Sejahterakan Petani Kecil