Ditemukan 17 Kasus Keracunan dalam Program MBG, BPOM Ungkap Penyebabnya
Siswa saat menyantap makanan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN 03 Jati Pulogadung, Jakarta. (7/5/2025)-Dery Ridwansah-JawaPos.com
BELITONGEKSPRES.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah kembali mendapat sorotan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang turut mendampingi pelaksanaan program ini, mengungkap adanya 17 kasus keracunan makanan di 10 provinsi.
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengungkapkan, sejumlah insiden terjadi akibat proses memasak yang terlalu tergesa serta distribusi yang lambat. “Ada makanan yang dimasak terburu-buru, tapi distribusinya telat. Itu memicu kejadian keracunan,” ujarnya.
BPOM juga melakukan inspeksi ke berbagai Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Hasilnya, ditemukan beberapa dapur yang belum memenuhi standar Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB). “Kami bertekad memperkuat kerja sama dengan Badan Gizi Nasional (BGN) agar kejadian serupa tidak terulang,” tegas Taruna.
Sejak MBG diluncurkan, laporan keracunan terus bermunculan. Terbaru, pada 8 Mei lalu, sebanyak 214 siswa di Bogor mengalami keracunan usai menyantap makanan dari program ini. Kasus serupa juga tercatat di Bandung, Tasikmalaya, Bombana, Sumba Timur, dan Sukoharjo.
BACA JUGA:Kejagung Tegaskan Kehadiran TNI Tak Ganggu Penanganan Perkara
BACA JUGA:Budi Arie Kembali Disorot, Namanya Disebut dalam Dakwaan Kasus Suap Situs Judi Online
Meski dihantui insiden, pemerintah tetap melaju cepat. Target tahun ini adalah menjangkau 82,9 juta penerima. Untuk itu, pemerintah tengah menyusun Peraturan Presiden guna memperkuat regulasi program MBG.
Tak hanya inspeksi, BPOM juga memberikan pelatihan kepada para Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang ditugaskan sebagai kepala SPPG. Sebelumnya, BPOM dan BGN telah meneken nota kesepahaman sebagai landasan sinergi dua lembaga dalam pengelolaan MBG.
Namun, sinergi ini dinilai masih jauh dari cukup.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menilai 17 kasus keracunan di 10 provinsi adalah alarm serius. “Ini jadi tanda bahwa kita belum optimal dalam hal keamanan pangan,” kata Edy.
Ia juga menyoroti belum maksimalnya kerja sama antara BPOM dan BGN. Mengacu pada Pasal 47 PP No. 8 Tahun 2019, pengawasan pangan siap saji menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, BPOM, dan kepala daerah. “BPOM punya wewenang penuh untuk memeriksa seluruh tahapan: dari produksi, penyimpanan, distribusi, hingga penjualan pangan,” tegasnya.
Edy mempertanyakan apakah BPOM benar-benar dilibatkan sejak awal saat SPPG mulai beroperasi. Menurutnya, BGN tidak memiliki kompetensi teknis untuk melakukan verifikasi standar dapur. “UMKM saja diawasi ketat oleh BPOM, kenapa dapur SPPG yang menyangkut 3.000 penerima bisa luput dari pengawasan?” ujarnya. Ia menilai langkah preventif jauh lebih logis ketimbang sekadar memberikan asuransi kepada korban.
Senada, anggota Komisi IX DPR lainnya, Nurhadi, mendesak BGN untuk memberi sanksi tegas terhadap penyedia SPPG yang melanggar standar keamanan. Ia menegaskan pentingnya hukuman tegas, apalagi jika pelanggaran dilakukan berulang. “Ini soal keselamatan anak-anak. Kalau terbukti melanggar, jangan ragu beri sanksi keras,” ujarnya.
Menurut Nurhadi, isu keamanan pangan bukan sekadar urusan teknis, melainkan soal menjaga kepercayaan masyarakat. “Jangan sampai program yang niatnya baik justru mencederai anak-anak karena lemahnya pengawasan,” katanya. (jawapos)