Baru Terkumpul Rp 21 Triliun, Target Net Karbon 2030 Butuh Dana Rp 400 Triliun
Emisi Karbon Hasil dari Kegiatan Industri Kelompok Capital--geographical.co.uk
BELITONGEKSPRES.COM - Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam upaya menekan emisi karbon secara signifikan hingga tahun 2030.
Target ini bukan sekadar wacana, melainkan bagian dari komitmen nyata untuk menjadikan sektor kehutanan dan penggunaan lahan sebagai penyerap karbon bersih, melalui program Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030.
Secara sederhana, FOLU Net Sink adalah kondisi di mana sektor kehutanan dan lahan mampu menyerap lebih banyak karbon dibandingkan jumlah emisi yang dihasilkan dari aktivitas di sektor tersebut. Artinya, hutan dan lahan akan berperan sebagai “penyedot” emisi karbon bersih dari atmosfer.
Namun, untuk mencapai target besar ini, Indonesia menghadapi tantangan finansial yang tidak kecil. Pemerintah memperkirakan kebutuhan dana mencapai Rp 400 triliun. Padahal, hingga saat ini, dana yang sudah terkumpul baru sekitar Rp 21 triliun, yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
BACA JUGA:Kemenko ESDM Pastikan Biodiesel B50 Siap Digunakan Tahun 2026
BACA JUGA:Menko Airlangga Optimistis Ekonomi RI Tumbuh 5 Persen di 2025 Meski Dihantam Tantangan Global
Penasihat Senior FOLU Net Sink 2030, Ruandha Sugardiman, mengungkapkan bahwa pada awalnya, kebutuhan anggaran diperkirakan sekitar Rp 200 triliun. Namun setelah dilakukan perhitungan mendalam dan menyeluruh terhadap berbagai program pengurangan emisi, angkanya membengkak dua kali lipat.
“Awalnya disusun Rp 200 triliun, kemudian membengkak sampai Rp 400 triliun,” ungkap Ruandha dalam pertemuan di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Jumat 16 Mei.
Anggaran jumbo ini mencakup berbagai sektor, dengan fokus utama pada pengurangan emisi dari kehutanan, penanganan limbah dan sampah, serta program-program pelestarian lingkungan lainnya.
Ruandha menegaskan, kebutuhan dana sebesar itu jelas tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika dipaksakan, APBN akan terbebani secara signifikan.
Oleh karena itu, pemerintah membuka opsi pembiayaan dari berbagai sumber, termasuk mekanisme perdagangan karbon, yang kini sudah mulai dijalankan.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Maka dibuka regulasi untuk pembiayaan dari berbagai pihak, termasuk kerja sama internasional dan sektor swasta,” jelasnya.
Dana yang telah terkumpul saat ini disimpan dalam BPDLH dan dialokasikan untuk membiayai program-program seperti penghijauan, reforestasi, perlindungan hutan dari deforestasi, hingga rehabilitasi hutan mangrove.
BACA JUGA:Indonesia Cetak Sejarah Baru, Produksi Pangan 2025 Melesat