Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

Indef Sebut Motif Ekonomi Picu Praktik Premanisme dan Pungli

Ilustrasi pungli-istimewa-

BELITONGEKSPRES.COM - Fenomena premanisme dan pungutan liar (pungli) yang bersembunyi di balik nama organisasi masyarakat (ormas) mulai menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha. Bahkan, isu ini sempat disebut-sebut mengganggu rencana investasi pabrik mobil listrik asal Tiongkok, BYD, di Subang, Jawa Barat.

Ahmad Heri Firdaus, peneliti dari Indef, menilai bahwa gejala maraknya aksi semacam ini tak lepas dari tekanan ekonomi. Menurutnya, motif ekonomi merupakan penyebab utama yang mendorong praktik-praktik menyimpang tersebut.

“Kalau iklim investasi mulai terganggu, besar kemungkinan alasannya adalah soal ekonomi,” ujar Ahmad dalam acara Investor Daily Talk, Rabu 14 Mei.

Ahmad menyoroti perlambatan ekonomi nasional berdasarkan data BPS. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 tercatat hanya 4,87%, lebih rendah dibandingkan 5,02% di periode yang sama tahun lalu. Sementara konsumsi rumah tangga juga mengalami pelemahan dengan hanya tumbuh 4,89%.

BACA JUGA:Menaker Yassierli Dorong Peluang Kerja Setara untuk Penyandang Disabilitas

BACA JUGA:Kemenaker Siapkan Langkah Mitigasi Hadapi PHK dan Seruan Boikot Produk Terafiliasi Israel

Tak hanya itu, lonjakan pengangguran yang bertambah 83 ribu orang per Februari 2025 turut memperburuk situasi. Menurut Ahmad, kondisi ini mendorong sebagian orang untuk mencari penghasilan instan di luar jalur resmi termasuk melalui jalur premanisme.

“Contohnya ada yang ngotot minta proyek tanpa proses tender. Itu bukan praktik wajar, tapi dorongan ekonomi bisa membuat orang nekat melakukan apa saja,” tegasnya.

Ahmad pun mendorong pemerintah untuk menelusuri lebih dalam akar permasalahan dari aksi-aksi premanisme dan pungli. Menurutnya, jika ekonomi masyarakat membaik, daya beli meningkat, dan lapangan kerja tersedia, maka tindakan seperti ini akan jauh berkurang.

Lebih lanjut, Ahmad menambahkan bahwa aksi premanisme juga berisiko menambah biaya investasi alias memperbesar Incremental Capital Output Ratio (ICOR), yang berarti modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Dalam jangka panjang, ini bisa membuat Indonesia tampak tidak efisien di mata investor global. (beritasatu)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan