BI Jaga Stabilitas Rupiah, PHK Massal Bayangi Ekonomi Indonesia
Ilustrasi: Bank Indonesia-Nurul Fitriana-JawaPos.com
BELITONGEKSPRES.COM - Memanasnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, ditambah sentimen negatif dari dalam negeri, membuat tekanan terhadap aset keuangan Indonesia makin terasa di awal 2025. Arus dana asing pun mulai hengkang, terutama dari pasar saham, yang berdampak langsung pada melemahnya nilai tukar rupiah.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia (BI), Erwin Gunawan Hutapea, menyatakan bahwa ketidakpastian global masih menjadi tantangan utama.
Ia menyoroti ketidakjelasan sikap Presiden AS Donald Trump terkait kesepakatan tarif resiprokal dengan Tiongkok. “Pernyataan terakhir yang menyebutkan bahwa kesepakatan itu tak berbentuk penandatanganan resmi justru menimbulkan pertanyaan baru,” ujar Erwin, Rabu, 7 Mei.
Konflik geopolitik antara India dan Pakistan turut menambah tekanan. Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, investor global cenderung memilih aset yang dianggap lebih aman (safe haven), sehingga banyak modal asing keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
BACA JUGA:Pelemahan Ekonomi Global Tak Goyahkan Optimisme Pertumbuhan Indonesia, Target 5,2 Persen
BACA JUGA:Kemendag Tanggapi Penutupan Ritel Besar dengan Evaluasi dan Harmonisasi Regulasi
Dampaknya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok ke level terendah 5.067,99 pada 9 April 2025. Namun, seiring meredanya tensi perang dagang dan mulai pulihnya permintaan domestik, IHSG berhasil rebound hingga menyentuh 6.926,225.
Pasar surat berharga negara juga sempat ikut terdampak. Sentimen risk-off mendorong imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik ke 7,20 persen. “Tapi peningkatan itu tertahan karena permintaan dari investor domestik cukup kuat,” jelas Erwin.
Di pasar valuta asing, nilai tukar rupiah sempat mengalami tekanan signifikan. Kurs non-deliverable forward (NDF) dolar AS terhadap rupiah menyentuh lebih dari Rp 17.100 pada 7 April. BI pun turun tangan dengan intervensi di pasar offshore, bahkan pada hari libur, demi menjaga stabilitas rupiah.
“Sejak 7 April hingga 6 Mei 2025, NDF USD terhadap rupiah sudah menguat 2,7 persen. Secara month-to-date, kurs spot rupiah juga menguat hampir 1 persen,” tambahnya. Optimisme atas kelanjutan negosiasi AS dengan mitra dagangnya menjadi pemicu penguatan ini.
Namun begitu, Erwin mengingatkan bahwa pergerakan nilai tukar tetap sangat tergantung pada keseimbangan suplai dan permintaan, serta persepsi pasar terhadap fundamental ekonomi Indonesia. “Pertanyaannya, berapa target pertumbuhan kita? Faktor apa saja yang mendukung atau menghambat?” katanya.
Hal-hal tersebut, kata Erwin, sangat memengaruhi minat investor terutama investor jangka panjang dan institusional untuk menanamkan modal di Indonesia. Bukan sekadar modal yang mudah keluar-masuk (hot money).
BACA JUGA:Pertumbuhan Ekonomi 2025 Didukung Sektor Pertanian dan Konsumsi Domestik
BACA JUGA:Resesi Mengintai, Ini Cara Cerdas Mengelola Keuangan di tengah Perlambatan Ekonomi