Kemenkes Terapkan Tes Kejiwaan Berkala untuk Calon Dokter dengan MMPI
Ilustrasi dokter dan pasiennya--Merithhc
BELITONGEKSPRES.COM - Menjaga kualitas layanan kesehatan tak cukup hanya dengan mengandalkan kompetensi akademik dan keterampilan medis. Di balik jubah putih yang dikenakan para dokter, terdapat tanggung jawab emosional, tekanan psikologis, serta beban moral yang tak ringan.
Dalam konteks itulah, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono menyampaikan bahwa upaya deteksi dini kondisi kejiwaan calon dokter menjadi penting dan mendesak.
Salah satu langkah preventif yang akan dilakukan adalah penjaringan psikologis melalui metode Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) sebuah alat ukur kepribadian yang telah terbukti secara klinis dan telah digunakan di berbagai bidang, termasuk dalam dunia kedokteran.
Menurut dr. Lahargo Kembaren, SpKJ, seorang spesialis kesehatan jiwa, MMPI merupakan instrumen yang cukup efektif untuk membaca kondisi mental seseorang. “Kita bisa mengetahui gambaran kejiwaan seseorang melalui wawancara psikiatri terstruktur maupun instrumen psikologis seperti MMPI,” ungkap Lahargo saat dihubungi Jawa Pos, Jumat, 18 April.
BACA JUGA:Kasus Pelecehan Seksual oleh Tenaga Medis Meningkat, Wamenkes: STR Dicabut Permanen!
BACA JUGA:Dugaan Kasus Pelecehan Seksual Kembali Terjadi oleh Dokter AY di RS Persada Hospital Malang
Dikembangkan pertama kali pada tahun 1930-an dan dipublikasikan oleh Universitas Minnesota pada 1942, MMPI bukanlah metode baru. Namun, aplikasinya dalam proses seleksi dan pengawasan dokter menjadi terobosan penting dalam menciptakan ekosistem kesehatan yang tidak hanya kompeten, tetapi juga sehat secara psikologis.
Tes ini terdiri dari 567 pernyataan benar atau salah yang harus dijawab oleh peserta. Versi terbarunya, MMPI-3, bahkan baru saja dirilis pada 2020, menunjukkan bahwa metode ini terus dikembangkan sesuai kebutuhan zaman.
Dengan menggunakan standar internasional dan validitas yang tinggi, MMPI tak hanya mampu mengukur kepribadian secara umum, tetapi juga menilai potensi risiko psikopatologi.
Lebih jauh, dr. Lahargo menyebut bahwa tes psikologis semestinya tak bersifat satu kali, melainkan dilakukan secara berkala. “Idealnya, dilakukan setiap tahun sebagai bagian dari pemantauan kesehatan mental tenaga medis,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). Menurut mereka, profesionalisme tenaga medis tidak hanya bertumpu pada kecakapan klinis, melainkan juga pada kesiapan mental menghadapi tekanan etik, emosional, dan situasi genting yang kerap dihadapi dalam praktik kedokteran.
PDSKJI menekankan pentingnya pemeriksaan kejiwaan berkala sebagai bagian dari sistem pendukung profesional yang sehat dan berkelanjutan. Pemeriksaan ini akan membantu melakukan deteksi dini terhadap potensi gangguan mental, sekaligus sebagai bentuk perlindungan terhadap pasien dari risiko penyalahgunaan profesi.
Dengan berbagai kasus pelanggaran etik oleh tenaga medis yang mencuat akhir-akhir ini, wacana penerapan tes psikologis seperti MMPI bukanlah respons reaktif, melainkan langkah sistematis yang mencerminkan reformasi menyeluruh di sektor kesehatan.
Ini adalah upaya strategis dalam menjaga martabat profesi dokter dan memperkuat kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan di Indonesia. (jawapos)