Pariwisata Bukan Lagi Pelengkap: Revisi UU Kepariwisataan Kunci Bangkitkan Ekonomi Daerah

Tangkapan layar: Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menyampaikan kesiapan pemerintah dalam membahas RUU Kepariwisataan dalam Rakor bersama Komisi VII DPR RI yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa (11/3/2025)--(ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
JAKARTA, BELITONGEKSRES.COM - Pariwisata daerah di Indonesia tak lagi sekadar pelengkap dalam sektor pembangunan. Kini, pariwisata menjelma menjadi mesin penggerak ekonomi baru yang potensial, terutama di tengah tekanan ekonomi global dan ketatnya persaingan antarnegara.
Momentum besar tengah bergulir. Revisi Undang-Undang Kepariwisataan yang sedang dibahas di DPR menjadi peluang strategis untuk mengubah arah kebijakan pariwisata nasional.
Regulasi anyar ini diharapkan tidak hanya memperkuat destinasi andalan seperti Bali dan Yogyakarta, tetapi juga membuka jalan bagi daerah lain seperti Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, hingga Maluku untuk unjuk gigi di panggung wisata internasional.
Pariwisata telah naik kelas menjadi salah satu pilar penting pembangunan ekonomi nasional. Banyak negara membuktikan bahwa sektor ini adalah lokomotif pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19--dan Indonesia tidak boleh tertinggal.
Indonesia pun turut bergerak cepat. Pemerintah bersama para pelaku industri pariwisata terus mendorong pengembangan destinasi yang berkualitas demi mengembalikan minat wisatawan, setelah sempat anjlok akibat pembatasan perjalanan selama pandemi Covid-19.
Tren pariwisata berkelanjutan kini semakin mendapat tempat di hati masyarakat, termasuk wisatawan asing. Wisata berbasis lingkungan dan budaya lokal menjadi daya tarik baru yang terus berkembang.
BACA JUGA:Pemkab Belitung Sambut Kunjungan DPP ASTINDO, Dorong Pariwisata Bangkit Kembali
Setelah mengalami penurunan tajam pada 2021, kunjungan wisatawan mulai menunjukkan pemulihan pada 2022. Tren positif ini terus berlanjut hingga tahun 2024, di mana Indonesia mencatatkan lebih dari 13,9 juta kunjungan--angka tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Namun di balik geliat kebangkitan tersebut, pengelolaan sektor pariwisata di Indonesia masih dibayangi sejumlah persoalan mendasar. Mulai dari regulasi yang belum adaptif, kelembagaan yang lemah, hingga kebijakan teknis yang sering tumpang tindih di lapangan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang selama ini menjadi dasar hukum utama, kini dinilai tak lagi cukup menjawab tantangan zaman. Revisi undang-undang yang tengah dibahas di DPR menjadi titik krusial untuk menata ulang fondasi kebijakan pariwisata nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Harapannya, RUU Kepariwisataan yang baru bukan sekadar mempercantik redaksi hukum, melainkan benar-benar mampu mengurai berbagai hambatan yang selama ini mengganjal laju pertumbuhan sektor ini.
Ada lima poin penting yang kini menjadi sorotan utama dalam pembahasan RUU Kepariwisataan di parlemen--dan semuanya perlu mendapatkan porsi strategis dalam regulasi yang akan datang. Mulai dari penguatan pendidikan vokasi serta peningkatan kualitas SDM pariwisata, strategi promosi yang lebih masif dan terintegrasi, penataan destinasi dengan pendekatan keberlanjutan, pembenahan struktur kelembagaan, hingga optimalisasi kontribusi sektor ini terhadap penerimaan negara.
BACA JUGA:Pariwisata Jadi Penyelamat Ekonomi RI Hadapi Dampak Kebijakan Trump
Beberapa negara yang sukses merestorasi sektor pariwisatanya pascapandemi bisa dijadikan rujukan. Kawasan Timur Tengah, seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, berhasil menjelma menjadi destinasi unggulan berkat reformasi kebijakan visa dan penyelenggaraan event internasional. Ditambah lagi dengan strategi promosi yang menyatu dengan diplomasi budaya dan ekonomi, kawasan ini kini menjelma sebagai magnet baru wisata global.