Korban Dunia Maya: Kasus Kekerasan Seksual Anak Indonesia Masuk 10 Besar

Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti-Ist-

JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan kekhawatirannya terhadap posisi Indonesia yang masuk 10 besar dunia untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak secara daring.

FSGI mendukung penuh rencana pemerintah untuk membatasi akses media sosial bagi anak-anak sebagai langkah untuk melindungi mereka dari ancaman kekerasan seksual dunia maya.

Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, menekankan bahwa kekerasan seksual kini tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga dapat dilakukan melalui platform daring.

Di mana pelaku dan korban tidak perlu bertemu secara langsung. Salah satu contoh kekerasan yang marak adalah permintaan kepada anak untuk melakukan masturbasi melalui siaran langsung di media sosial tanpa menyadari bahaya di baliknya.

BACA JUGA:Kepala BGN: Program Makan Bergizi Gratis Telah Melayani 650 Ribu Penerima Manfaat

BACA JUGA:Babel Kekurangan 1.291 Guru, Pemprov Butuh Kebijakan Mendikdasmen untuk Atasi Masalah Pendidikan

"Kekerasan seksual daring semakin marak, dan anak-anak menjadi sasaran empuk di dunia maya. Pembatasan media sosial untuk anak-anak sangat penting agar mereka terlindungi," ujar Retno dilansir dari beritasatu.com, Sabtu, 18 Januari 2025.

Retno juga mencatat, negara-negara seperti Australia dan Tiongkok telah lebih dahulu menerapkan pembatasan akses media sosial untuk anak-anak. Kini, Indonesia sedang menggodok kebijakan serupa yang dinilai krusial untuk melindungi anak-anak dari ancaman digital.

Dalam pernyataannya, Retno menyoroti peran pengawasan orang tua yang sering kali kurang dalam memantau aktivitas anak di media sosial. Banyak orang tua yang belum sepenuhnya melek digital, sehingga sulit untuk mengawasi aktivitas anak di platform seperti Instagram atau TikTok.

Sebagian besar kasus kekerasan seksual daring terhadap anak bermula dari media sosial, di mana anak-anak yang sedang merasa galau sering kali menumpahkan perasaan mereka. Hal ini dimanfaatkan oleh predator yang kemudian mendekati anak-anak melalui pesan pribadi (DM), membangun hubungan manipulatif, dan berpura-pura peduli.

BACA JUGA:PLN UID Jabar Mentransformasi UMKM Puka untuk Pemberdayaan Penyandang Disabilitas

BACA JUGA:Faktor Kultural Jadi Penyebab Tingginya Angka Putus Sekolah di Babel

"Predator memanfaatkan perasaan galau anak-anak untuk membangun kedekatan dan mendapatkan kepercayaan mereka. Setelah hubungan terjalin, mereka mulai meminta foto atau video tidak senonoh," jelas Retno.

Lebih parah lagi, pelaku seringkali melakukan pemerasan setelah mendapatkan materi eksploitasi seksual, atau bahkan menjual materi tersebut kepada pihak lain, memperburuk kondisi korban.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan