Menko Airlangga: Depresiasi Mata Uang Tidak Hanya Terjadi pada Rupiah, Tapi Juga pada Negara Lain
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjawab pertanyaan awak media di gedung Kemenko Bidang Perekonomian usai menggelar Rapat Kordinasi di Jakarta, Jumat (20/12/2024). -Salman Toyibi-Jawa Pos
BELITONGEKSPRES.COM - Rupiah terus mengalami tekanan dalam sepekan terakhir. Pada perdagangan 20 Desember 2024, mata uang Indonesia ditutup di level Rp 16.221,5 per dolar Amerika Serikat (USD). Pemerintah kini lebih fokus pada upaya penguatan devisa untuk memperkuat nilai tukar rupiah.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa depresiasi mata uang tidak hanya terjadi pada rupiah, tetapi juga pada beberapa negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, dan Brasil, yang juga mengalami pelemahan terhadap dolar AS.
"Depresiasi ini bersifat global, tidak hanya Indonesia. Korea Selatan, Jepang, dan Brasil pun mengalami penurunan nilai tukar yang lebih dalam," ungkap Airlangga di Jakarta pada 20 Desember.
Meski demikian, Airlangga meyakini bahwa ekonomi Indonesia tetap resilient meskipun menghadapi dinamika global. "Fundamental ekonomi kita tetap kuat, dan dibandingkan dengan negara lain, kita masih relatif baik," tambahnya.
BACA JUGA:AirNav Indonesia Siap Kawal Navigasi Penerbangan Selama Libur Akhir Tahun
BACA JUGA:BPH Migas Jalin Sinergi untuk Memastikan Kelancaran Pasokan BBM Periode Nataru
Pemerintah pun fokus pada upaya penguatan devisa, terutama melalui peningkatan ekspor dan investasi. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi impor berbasis dolar dan mendongkrak nilai tukar rupiah ke depannya.
Pemerintah juga berencana memperpanjang kebijakan penempatan Dana Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari sektor sumber daya alam (SDA), yang sebelumnya hanya berlaku selama tiga bulan. Perpanjangan kebijakan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Airlangga menyebutkan bahwa pemerintah terus mendengarkan masukan dari para pelaku usaha, khususnya di sektor SDA. "Aturan sebelumnya hanya tiga bulan, dan kini kami mendengarkan masukan dari pelaku usaha untuk kebijakan yang lebih baik," jelasnya.
Di sisi lain, ekonom dari LPEM FEB UI, Teuku Riefky, menjelaskan bahwa arus modal keluar yang masif dari pasar negara berkembang telah memperburuk tekanan pada mata uang, termasuk rupiah. Dalam 30 hari terakhir, rupiah terdepresiasi 1,39 persen dari Rp 15.770 per USD menjadi lebih dari Rp 16.000 per USD.
BACA JUGA:Pemerintah Pastikan Stabilitas Harga Tiket Transportasi Selama Libur Natal dan Tahun Baru 2025
BACA JUGA:Petani dan Pelaku Usaha Sawit Desak Pembentukan Badan Khusus untuk Tata Kelola Lebih Baik
Namun, meskipun rupiah mengalami depresiasi, performanya relatif lebih moderat dibandingkan mata uang negara berkembang lainnya. Dengan penurunan nilai tukar sebesar 3,86 persen sepanjang 2024, rupiah lebih baik dibandingkan peso Filipina, rubel Rusia, lira Turki, real Brasil, dan peso Argentina, yang mengalami penurunan lebih tajam.
Sebaliknya, rupiah terdepresiasi lebih dalam dibandingkan yuan Tiongkok, rupee India, baht Thailand, rand Afrika Selatan, dan ringgit Malaysia. (jpc)