Karagenan Alor
Dahlan Iskan--
SEJAK akhir SMP Clarissa sudah sekolah di Australia. Kuliahnyi pun di sana: tamat 2004. Begitu lulus universitas Clarissa langsung bekerja di salah satu investment banking di Kuala Lumpur.
Tiga tahun dia di lembaga keuangan itu. Sempat menikah dengan orang Malaysia. Sempat diajak tinggal di Dubai selama empat tahun.
Ujungnya: Clarissa pilih hidup di Rote –nun jauh di Nusa Tenggara Timur.
Ayah Clarissa memang kelahiran Ambon tapi kakek Clarissa orang Rote.
Bagaimana bisa anak muda yang hidupnya selalu di luar negeri bisa langsung memutuskan tinggal di pulau begitu terpencil?
Ternyata Clarissa mencintai Rote. "Mungkin karena saya suka diving," ujar Clarissa.
BACA JUGA:GovTech Merdeka
BACA JUGA:GovTech Anas
Lokasi selam di Alor, kata Clarissa, jauh lebih menakjubkan dibanding, misalnya, Labuhan Bajo. "Kalau Labuhan Bajo 6, Alor 9," kata Clarissa.
Di mana yang bernilai 10?
"Lho yang 10 kan di Misool, Raja Ampat," jawab Clarissa.
Di Rote, Clarissa menyelam tidak hanya untuk menikmati keindahan bawah laut. Di bawah laut Clarissa lagi melihat kehidupan yang lebih penting: rumput laut. Juga kehidupan para petaninya. Clarissa bertekad menghabiskan perhatian dan energi untuk rumput laut.
Kesimpulan Clarissa: dia harus membangun pabrik tepung karagenan. Bahan bakunya rumput laut. Pabriknya harus di NTT. Agar hasil rumput laut kualitas tinggi di NTT tidak melulu diekspor ke Tiongkok dalam bentuk rumput laut yang sudah dikeringkan.
Pabrik itu sudah jadi. Sudah sejak enam tahun lalu. Lokasinya di selatan kota Kupang. Di bagian barat pulau Timor. Kapasitasnya 150 ton per bulan. Atau 1.500 ton rumput laut basah.