Mencari Jalan Tengah Fatwa Pajak Berkeadilan MUI
Ilustrasi - Pajak--ANTARA/HO
Lebih jauh, fatwa ini memberi penekanan kuat bahwa pajak adalah amanah yang diberikan rakyat kepada negara. Karena itu, pemungutannya harus memenuhi unsur transparansi, proporsionalitas, dan kemaslahatan. Penarikan pajak yang tidak memenuhi rasa keadilan bahkan dipandang bertentangan dengan nilai-nilai syariah.
Di sinilah MUI mendorong evaluasi atas regulasi perpajakan yang ada—termasuk PPh, PBB, PPN, BPHTB, PKB, hingga pajak waris—serta membuka ruang integrasi antara zakat dan pajak. Hasil akhirnya adalah sebuah visi reformasi: Menghadirkan sistem pajak yang lebih terbuka, lebih adil, dan lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat kecil.
Legitimasi moral sistem pajak
Fatwa MUI mengenai “pajak berkeadilan” tidak berdiri di ruang hampa. Ia bersinggungan langsung dengan struktur fiskal Indonesia yang kompleks dan bergantung kuat pada pajak sebagai sumber pembiayaan negara.
BACA JUGA:Guruku Sayang, Guruku (Jangan Sampai) Malang
Pada tahun-tahun terakhir, lebih dari 70 persen APBN ditopang oleh penerimaan perpajakan, dengan PPh dan PPN sebagai kontributor terbesar. Ini berarti bahwa desain pajak yang meliputi bauran tarif, objek pajak, hingga kelompok wajib pajak akan secara langsung menentukan kemampuan negara menyediakan layanan publik.
Dalam konteks ini, seruan MUI agar pajak tidak membebani kebutuhan dasar masyarakat menjadi kritik moral bagi negara yang sering kali mengalami defisit dan harus mengambil kebijakan menaikkan tarif atau memperluas basis pajak.
Ketika fatwa menekankan pentingnya tidak memajaki kebutuhan dasar, sesungguhnya ia sedang mengingatkan negara bahwa stabilitas fiskal tidak boleh dibangun dengan mengorbankan kelompok paling rentan.
Selain tingkat pusat, struktur fiskal daerah juga sangat terpengaruh oleh kebergantungan pada pajak, retribusi, dan transfer pusat. Selain PBB-P2, terdapat pula BPHTB, PKB, pajak restoran, hotel, hiburan, dan pajak bahan bakar yang menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Di banyak daerah, terutama di luar Jawa, PAD cenderung rendah karena minimnya sektor komersial dan industri, sehingga kebergantungan pada transfer Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) semakin kuat.
BACA JUGA:Dilema Buah Simalakama: Perlindungan Guru Vs Perlindungan Siswa
Bila fatwa MUI dibaca sebagai dorongan mengurangi pemajakan atas rumah tinggal dan harta primer, maka dampaknya di daerah semacam ini bisa lebih luas daripada sekadar hilangnya PBB. Ia bisa memperbesar kebergantungan pada pusat dan mempersempit ruang fiskal daerah dalam menyediakan layanan dasar.
Pada titik inilah fatwa MUI berjumpa dengan realitas fiskal, bahwa pemda wajib melindungi warga, namun di sisi lain juga harus membiayai kebutuhan publik setiap hari.
Pada level nasional, fatwa MUI juga menyentuh isu penting: Siapa yang seharusnya menjadi pembayar pajak utama.
Struktur penerimaan Indonesia masih menghadapi tantangan ketimpangan. Sebagian besar PPh ditopang oleh kelompok pegawai formal, sementara sektor informal dan kelompok kaya sering tak tergarap optimal.
Data Kemenkeu beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa kontribusi PPN terus meningkat, sehingga beban pajak bergeser ke konsumsi. Padahal PPN bersifat regresif yang semakin rendah penghasilan seseorang, semakin besar proporsi pajak yang ia tanggung.