Membeli Status Berkelas dari Baju Bekas
Calon pembeli melihat pakaian bekas yang dijual di Pasar Baru, Jakarta, Kamis (31/7/2025)-Rivan Awal Lingga/sgd-ANTARA FOTO
Tapi begitulah zaman ini. Kita hidup dalam rentang absurd antara ingin hemat dan ingin terlihat elit. Antara ingin jujur dan ingin tampil mulus. Thrifting hanya kebetulan berada di tengah-tengah dilema itu.
Fenomena ini membuat thrifting bukan lagi sekadar urusan alternatif belanja, melainkan panggung sosial yang memantulkan betapa manusia modern semakin lihai menegosiasikan citra. Setiap potong pakaian adalah narasi kecil tentang siapa kita ingin terlihat hari ini.
Nilai diri
Di tengah gemerlap baju bekas dan hiruk-pikuk tren, kita diingatkan satu hal sederhana bahwa nilai diri tidak pernah diukur dari apa yang menempel di tubuh kita.
Jaket mahal, kaus kupluk langka, sepatu bermerek, semuanya bisa dibeli, tapi itu tidak otomatis membuat siapa pun lebih berharga, lebih pintar, atau lebih berarti.
Thrifting boleh jadi cara cerdas mengekspresikan gaya, tapi identitas sejati tidak bisa dipinjam dari lemari orang lain.
BACA JUGA:Permata di Negeri Laskar Pelangi
Maka, mungkin saatnya sedikit menoleh ke dalam negeri. Produk lokal, yang sering luput dari sorotan, diam-diam terus berinovasi: bahan lebih nyaman, desain kreatif, harga bersahabat, dan cerita yang sarat dengan karakter.
Mereka bukan sekadar alternatif. Mereka adalah wujud nyata kemampuan dan kreativitas bangsa yang patut diapresiasi.
Cara paling sederhana untuk menghargai adalah dengan membeli, memakai, dan memberi ruang bagi karya anak bangsa untuk bersinar.
Tidak perlu dramatis, tidak perlu pamer; cukup biarkan pilihan itu berbicara. Sekali kita memberi perhatian dan apresiasi, industri kreatif lokal tumbuh, inovasi berkelanjutan, dan identitas kita sebagai konsumen yang bijak ikut terbentuk.
Pada akhirnya, gaya hidup sejati bukan soal label, harga, atau cerita lama yang melekat pada pakaian.
Gaya hidup sejati adalah cara kita memilih, menilai, dan menghargai, baik diri sendiri maupun karya orang lain. Dengan begitu, lemari kita tidak lagi sekadar rak baju, tapi cerminan nilai, selera, dan keberpihakan kita. (ant)
Oleh: Sizuka