Mengibarkan Bendera Perang Melawan Konten Menyimpang
Arsip Foto - Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid-Kementerian Komunikasi dan Digital-ANTARA/HO
Di sisi lain, patut diapresiasi langkah Kementerian Komdigi, yang sebelumnya juga sudah menutup sejumlah situs porno di masa kepemimpinan Meutia Hafidz.
Dua Sisi Medsos
Media sosial bisa digunakan untuk menyebar kebaikan maupun kejahatan, tergantung pada niat pemakainya. Bila niat sudah jahat, media apapun bisa digunakan untuk berbuat jahat. Sebaliknya, orang yang berniat mulia, orang bisa menyebarkan kebaikan kepada netizen lain melalui media sosial.
BACA JUGA:TKA 2025: Masa Depan Pendidikan yang Tergesa-gesa?
BACA JUGA:Reformasi BGN: Memastikan Serapan Anggaran MBG yang Bermakna
Sejatinya langkah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) kurang tepat saat menerapkan kurikulum mengenai coding dan algoritma dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, sebelum mempersiapkan dasar-dasar literasi digital kepada siswa.
Selain pengenalan dasar coding dan algoritma, sangat penting untuk memasukkan pendidikan tentang cybercrime dan etika media sosial dalam kurikulum. Anak-anak perlu diberikan pemahaman yang jelas mengenai berbagai bentuk kejahatan siber, seperti penipuan daring, peretasan, penyebaran konten negatif, serta pelecehan dan bullying di dunia maya. Dengan demikian, mereka tidak hanya mampu mengenali potensi ancaman, tetapi juga dapat mengambil langkah pencegahan yang tepat.
Pendidikan etika media sosial juga harus menjadi bagian integral dari pembelajaran literasi digital. Siswa harus diajarkan bagaimana menggunakan media sosial secara bertanggung jawab, menghormati privasi orang lain, dan menyaring informasi yang mereka terima agar tidak mudah terjebak pada hoaks atau konten yang merusak nilai-nilai sosial dan moral. Materi ini juga perlu menekankan pentingnya sikap kritis terhadap informasi dan perilaku digital yang sesuai dengan norma sosial dan budaya Indonesia.
Dengan membekali siswa dengan pengetahuan tentang cybercrime dan etika media sosial, kita tidak hanya melindungi mereka dari risiko kejahatan siber, tetapi juga membentuk generasi muda yang bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi digital. Hal ini akan memperkuat fondasi literasi digital yang esensial sebelum mereka mempelajari keterampilan teknis, seperti coding dan algoritma.
BACA JUGA:Menjaga Napas Batik Complongan di Tengah Senja Perajin Tua
BACA JUGA:Palestina Merdeka: Keniscayaan di Tengah Tekanan Netanyahu dan AS
Negara Lain
Kita bisa berkaca pada negara lain yang serius menangani kasus media sosial yang dianggap membahayakan. Berbagai negara telah menghadapi kasus serupa terkait eksploitasi seksual melalui media sosial dan menanganinya dengan pendekatan yang tegas dan terkoordinasi.
Salah satu kasus besar terjadi pada platform “Kidflixâ€, sebuah situs eksploitasi seksual anak dengan sekitar 1,8 juta pengguna secara global. Mengutip situs www.europol.europa.eu pada 2 April 2025, penegak hukum internasional, termasuk Europol, melakukan operasi besar-besaran yang berhasil menangkap 79 pelaku yang terlibat dalam distribusi materi pelecehan seksual anak. Penutupan platform ini melibatkan kerja sama lintas negara dan penegakan hukum yang intensif untuk membongkar jaringan pelaku dan melindungi korban.
Di Inggris, pada Oktober 2024 situs www.iwf.org.uk melaporkan penanganan kejahatan serupa dilakukan melalui kebijakan dan aksi hukum yang komprehensif. Laporan Independent Inquiry into Child Sexual Abuse (IICSA) mengungkap bahwa polisi Inggris menangkap lebih dari 450 orang setiap bulan terkait kejahatan seksual anak di dunia maya.
Penegakan hukum dilakukan secara proaktif, dengan kolaborasi antara kepolisian, lembaga perlindungan anak, dan regulator teknologi. Selain penegakan hukum, pemerintah Inggris juga menekan perusahaan media sosial untuk memperketat perlindungan anak dan meningkatkan transparansi platform mereka dalam menghapus konten berbahaya.
BACA JUGA:Akhir Polemik Formil UU TNI dan Pelajaran Proses Legislasi ke Depan