Memerangi Krisis Karakter: Solusi Pendidikan Masa Kini
Annisa Nur Aziz, S.Pd, Guru PNS SMP Negeri 4 Gantung--(Dok: Pribadi)
BELITONGEKSPRES.COM - Fenomena degradasi moral dan krisis karakter semakin terasa di tengah derasnya arus informasi digital. Berita tentang perilaku menyimpang, kekerasan, hingga kasus pelanggaran hukum yang melibatkan generasi muda kerap muncul di berbagai media.
Kondisi ini tentu menjadi alarm keras bahwa pendidikan karakter tidak bisa lagi hanya menjadi wacana, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Oleh karenanya, kita perlu membuka kembali ruang refleksi yang lebih luas bahwa pendidikan karakter sedang berada dalam titik kritis yang memerlukan perhatian serius. Krisis ini tidak berdiri sendiri.
Di waktu yang bersamaan, publik juga dihadapkan pada masalah perundungan yang berujung kematian, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, hamil di luar nikah, serta berbagai kasus ujaran kebencian dan tindakan intoleran di ruang digital. Selain itu, kasus pelanggaran integritas yang disebut dengan korupsi berseliweran mencuat ke permukaan secara masif.
Rangkaian episode tragedi ini menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar seperti kejujuran, empati, tanggung jawab, dan rasa hormat tidak lagi menjadi pegangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Rasa malu menjadi langka yang mengaburkan batas antara benar dan salah. Tragedi yang telah menjadi makanan pokok ini, bukan sekadar akibat lemahnya kontrol sosial, melainkan juga cerminan dari nilai-nilai moral yang mulai diabaikan. Sebuah zaman ketika norma mulai disesuaikan dengan kenyamanan, bukan kebenaran.
BACA JUGA:Menghidupkan Lahan Mati Bernafas Pertanian Modern
Ketika krisis karakter tidak lagi tersembunyi di balik tembok rasa malu, ini menjadi alarm bahwa ada sesuatu yang keliru dalam membentuk dan merawat nilai-nilai moral yang hidup dalam masyarakat.
Di tengah kondisi ini, pendidikan karakter tidak bisa lagi dianggap sebagai pelengkap atau jargon kurikulum. Ia harus menjadi pondasi utama dalam membangun bangsa yang dimulai dari lingkungan keluarga, diperkuat di sekolah, dan dikokohkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sekolah sebagai rumah kedua setelah keluarga, memegang peran sentral dalam proses pembentukan kepribadian anak. Sekolah bukan sekadar tempat belajar mata pelajaran, tetapi ruang sosial pertama di luar rumah yang mengenalkan nilai-nilai seperti tanggung jawab, disiplin, toleransi, dan kepedulian terhadap sesama.
Sekolah menjadi wahana bagi anak untuk belajar menjadi bagian dari masyarakat, sekaligus membentuk identitas moral yang akan dibawanya saat terjun ke kehidupan nyata.
Sebagai sebuah upaya dalam menghadapi krisis karakter yang semakin kompleks, pendidikan yang dibangun di sekolah tidak boleh hanya mengejar capaian kognitif, tapi mengabaikan pembinaan karakter. Generasi yang dibangun harus cerdas secara intelektual dan moral.
”Intelligence plus character that is the goal of true education” tertulis dalam esai Martin Luther King Jr., seorang pejuang diskriminasi ras di Amerika Serikat. Pandangan ini menjelaskan bahwa pendidikan bukan hanya mengasah kecerdasan intelektual tapi juga harus membentuk watak dan moralitas anak.
Sebagaimana juga ditegaskan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan seharusnya merupakan proses menuntun segala potensi kodrat anak untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Hal ini menjadi pengingat bahwa pendidikan sejati bukan hanya menguasai ilmu, tapi juga membentuk manusia secara moral. Tanpa moral, ilmu hanya akan melahirkan kecerdasan tanpa kendali. Maka pendidikan karakter bukanlah sekadar pelengkap, melainkan napas dari seluruh proses pendidikan itu sendiri.