"Kita lihat dulu".
"Tapi dikontrak paling tidak satu tahun lho ya."
"Kok lama. Gak bisa tiga bulan saja?”
BACA JUGA:Mau Berubah?
Terputus. Belum lagi pembicaraan selesai ada topik lain yang tiba-tiba harus dibicarakan.
Saya tahu Mel bukan wanita yang lagi menganggur. Dia sudah bekerja: juga di bidang IT. Tapi rupanya dia terus berusaha cari gaji yang lebih tinggi. Tawaran 70 dolar/jam (sekitar Rp 1 juta per jam) masih dia anggap kurang tinggi.
Itu pun Mel tidak mau lama-lama. Gaji Rp 1 juta/jam itu hanya batu loncatan. Meloncatnya pun cepat-cepat.
Kesan saya: betapa mudah cari pekerjaan di Amerika. Betapa ringan untuk memutuskan pindah kerja. Tidak ada perasaan khawatir apakah akan bisa dapat pekerjaan pengganti.
Setelah tiga hari di New York saya ke New Haven, Connecticut. Dua wanita ingin mengantar saya.
Yang satu mbak Sri. Asal Sragen. Suaminyi juga bule --asal Los Angeles. Sang suami ahli software. Sudah pensiun dari perusahaan raksasa bidang IT, IBM.
Mbak Sri menyesalkan mengapa saya tidak tidur di rumahnyi di dekat New York. Rumah yang, katanyi, enak untuk menulis buku. Di pinggir danau besar. Ada dua rumah di situ. Berdekatan. Saya, katanyi, bisa datang dan pergi kapan saja.
Kalau bosan di situ masih ada rumah lagi di Montana. Di pinggir taman hutan di dekat Kanada.
"Saya sudah beli tiket kereta api," kata saya. "Tidak perlu diantar."
Bukan berarti kami tidak bisa bertemu. Mbak Sri mengajak suami berkendara ke New Haven. Satu jam perjalanan. Kami pun ngobrol banyak hal sambil makan siang.
Di tengah makan ada info masuk: Mbak Dini juga ingin mengantar saya ke Hartford. Dia orang Demak, Jateng. alumnus Universitas Satya Wacana. S-2 dan S-3 nyi di Amerika.
Tapi Dini baru bisa berangkat agak sorean. Dia masih mengajar. Dia profesor linguistik Mengajar di Yale University --universitas papan atas di Amerika.